Jumat, 09 Januari 2009

Save Our Heritage!




Oleh :
David Kwa


Dalam sejarah Indonesia wilayah Tangerang doeloe dikenal merupakan wilayah tanah-tanah partikulir. Letaknya yang tidak jauh dari Batavia membuat banyak orang kaya―utamanya orang Tionghoa―tertarik untuk memiliki tanah di wilayah ini. Para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda (Chineesche Officieren) Batavia pun umumnya punya tanah di wilayah ini, dan juga di wilayah Bekasi. Tanah-tanah itu biasanya dijadikan lahan pertanian dan perkebunan: padi, kelapa, singkong dan karet. Dengan banyaknya tanah partikulir yang ada, seharusnya banyak pula country house yang doeloe dibangun para tuan tanah. Namun, kini hampir tak ada lagi country house yang tersisa dari penghancuran dan penjarahan setelah Kemerdekaan, selain Rumah Kongsi Kapitan Oey Djie San ini.
Di antara country house yang tersisa itu, country house milik keturunan Kapitein der Chineezen (kapitan Cina) Oey Djie San Sia 黃如山舍 (baca: Ui Ji San Sia) yang dikenal sebagai Rumah Kongsi alias Rumah Tuan Tanah―ini terbilang unik. Bukan hanya kemegahannya, melainkan juga karena gaya arsitekturnya agak langka kita temui. Sejauh ini, apabila umumnya orang membangun country house dalam satu gaya arsitektur saja, umumnya Belanda, maka country house yang satu ini dalam dua gaya yang seolah saling bertolak-belakang. Bangunan yang satu yang menghadap ke Jalan Teuku Umar bergaya Indisch, artinya arsitektur Belanda khas Hindia, sedang bangunan yang satu lagi, yang menghadap ke Sungai Cisadane, Tionghoa.

Siapakah Oey Djie San?
Kapitein der Chineezen (Kapitan Cina) Oey Djie San Sia 黃如山舍 (masa jabatan 1907-1916) berasal dari keluarga pejabat Tionghoa turun-temurun semenjak kakek-buyutnya. Sebuah papan pujian (pian 匾) berangka tahun 1805 yang masih tersimpan di Kelenteng Boen Tek Bio 文德廟, Pasar Lama, Tangerang, dipersembahkan kepada Koan Im Hoet Tjouw 觀音佛祖 oleh kakek-buyutnya, Oey Tjoen Wie 黃春蔚. Ia sendiri adalah direktur Cultuur Maatschappij (Tanah Partikulir) Karawatji-Tjilongok. Ketika masih sedikit orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda, dia sudah terkenal karena pendidikan Belandanya dan kemampuan berbahasa Belandanya yang sangat baik.
Oey Djie San langsung diangkat untuk mengisi lowongan jabatan kapitan Cina tanpa terlebih dahulu menjabat letnan pada 1 November 1907, menggantikan Oey Giok Koen (masa jabatan 1899-1907) yang pensiun pada bulan itu juga. Saat berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan cabang Tangerang pada 30 Juli 1904, ia menjabat sebagai presidennya, dengan wakil ketua: Kam Kheng In dan Souw Sian Thee.

Rangka kayu kuda-kuda paseban yang berukir indah.

Bangunan country house semacam ini hanya satu-satunya yang ditemukan di wilayah Tangerang, bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Di seluruh Jakarta, bangunan yang mempunyai dua gaya arsitektur Tionghoa-Indisch yang tersisa tinggal satu-satunya―namun bukan country house―adalah gedung Keluarga Souw yang keturunan Luitenant der Chineezen Souw Tian Pie 蘇天庇 (masa jabatan 1848-1860) serta kedua putranya Luitenant der Chineezen Titulair Souw Siauw Tjong 蘇紹宗 (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant der Chineezen Souw Siauw Keng 蘇紹經 (masa jabatan 1897-1913) di Jalan Patekoan (Perniagaan). Rumah yang berasitektur Tionghoa menghadap ke Patekoan, sedang yang Indisch menghadap ke sisi sebaliknya. Sedangkan gedung yang dahulunya berlanggam arsitektur Tionghoa-Indisch lainnya di Jalan Gajah Mada kini telah musnah, sejak gedung lamanya dihancurkan dan di atasnya dibangun gedung baru SMAN II.
Bangunan lain yang juga megah namun secara kosmologi telah rusak akibat ulah vandalisme tangan-tangan tak bertanggung jawab ialah bekas kediaman Majoor der Chineezen Khouw Kim An 許金安 (1879-1945) di Jalan Gajah Mada. Gedung yang dikenal sebagai Candra Naya ini kini berada dalam kondisi rusak berat setelah “diamputasi” anggota tubuhnya dan ditinggalkan bagian torsonya dalam keadaan merana.
Arsitektur bangunan ini adalah arsitektur rumah tinggal, bukan ruko, bergaya arsitektur Fujian selatan (Minnan 閩南). Bangunan rumah tinggal yang terdiri dari bangunan utama yang di tengah, diapit oleh dua buah bangunan sayang kiri-kanan, serta bangunan belakang yang lebih tinggi, dengan sebuah paseban atau pendopo di depannya, sangat unik. Di mata orang awam, gaya bubungan atapnya mirip kelenteng, yakni mirip busur dengan kedua ujung kiri dan kanannya mencuat ke atas dan masing-masing terbelah dua. Gaya bubungan atap (tiongcit) seperti ini disebut Ekor Walet (Yanbue 燕尾), sebab bentuknya mirip burung yang liurnya sangat bernilai sangat tinggi tersebut. Ditambah dengan sepasang Singa Batu (cioqsai 石獅) di kiri dan kanannya, makin kuatlah asosiasi orang dengan bangunan kelenteng. Padahal sebenarnya kedua unsur bangunan ini merupakan privilege yang tidak dimiliki setiap orang.

Pada masa lalu, di Tiongkok, hingga akhir dinasti Qing (1644-1911), berlaku ketentuan ujung bubungan atap bergaya Ekor Walet dan sepasang Singa Batu hanya boleh diterapkan pada bangunan pemerintahan, bangunan keagamaan, serta kediaman para pejabat pemerintah (Mandarin). Rakyat biasa tidak diperbolehkan. Mereka hanya boleh memakai bubungan atap bergaya Pelana (Bepue 馬背), serta tidak boleh memasang sepasang Singa Batu. Akibatnya, jumlah bangunan yang bergaya bubungan atap Ekor Walet dan mempunyai sepasang Singa Batu di depannya―selain kelenteng―sangat sedikit. Sekian banyak bangunan berlanggam arsitektur Tionghoa yang masih tersisa di kota-kota di Jawa, umumnya bergaya Pelana.

Di Jakarta, di sepanjang Angke, Jembatan Lima, Patekoan, Ji Lak Keng, Kongsi Besar, Tongkangan, Petak Baru, Pasar Pagi, Pasar Gelap, Toko Tiga-Toko Tiga Sebrang, Blandongan, Pintu Kecil, Gang Burung, Jembatan Batu, dan Pinangsia; juga di Jatinegara, masih tersisa bangunan-bangunan bergaya Pelana. Yang di kawasan Tanah Abang dan Senen sudah musnah semasa orde babe berkuasa. Sedang yang bergaya Ekor Walet bisa dihitung dengan jari: gedung bekas kediaman Majoor Khouw Kim An (1879-1945) di Gajah Mada (Candra Naya) yang sudah rusak, gedung yang masih dihuni keturunan Luitenant Souw Thian Pie (masa jabatan 1848-1860) dan kedua putranya Luitenant Titulair Souw Siauw Tjong (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant Souw Siauw Keng (masa jabatan 1897-1913) di Patekoan (Perniagaan), gedung yang kini dijadikan bangunan Gereja Santa Maria de Fatima di Toasebio (Kemurnian III) dan tentunya Rumah Kongsi Oey Djie San ini. Selain itu juga, gedung sekolah negeri di Pejagalan (bubungan atapnya terlihat jelas dari jalan layang arah Jembatan Lima-Pintu Besar Utara), gedung seputar (depan?) Pertokoan Chandra di Pancoran, yang hanya bisa terlihat jelas dari lapangan parkir di belakangnya, dan Toko Lautan Mas di Toko Tiga. Dua yang disebut terakhir ini rupanya oleh pemiliknya sengaja “dipatahkan” ujung Ekor Waletnya yang terbelah dua, supaya terkesan mirip Pelana, yang sebenarnya lebih rendah status sosialnya.
Oleh sebab sangat sedikitnya bangunan bergaya Ekor Walet, selain kelenteng-kelenteng, di Jakarta, masyarakat lebih mengenal bangunan bergaya Ekor Walet sebagai bangunan kelenteng, sehingga ada beberapa pihak yang merasa “alergi” kalau rumahnya dibilang “mirip kelenteng”. Akibatnya terjadilah: ujung bubungan atap Ekor Walet sengaja “dipatahkan”, agar tampak mirip dengan Pelana!!!
Di seluruh Kabupaten Tangerang sendiri, sepengetahuan saya, hanya bangunan Rumah Kongsi inilah satu-satunya yang memiliki privilege itu, sebab pemiliknya turun-temurun adalah pejabat Tionghoa (Chineesche Officieren). Kapitan Oey Djie San Sia sendiri adalah putra seorang pejabat Tionghoa, sebab hanya putra pejabat Tionghoa yang berhak menyandang gelar Sia 舍 di belakang namanya. Mungkin Ibu Mona Lohanda bisa menjelaskan siapa nama ayahnya. Dari gayanya, bangunan ini agaknya dibangun pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, maka kemungkinan besar kakek-buyutnya, Oey Tjoen Wie 黃春蔚, lah yang membangunnya.

Bangunan bergaya Indisch yang menghadap ke Jalan Teuku Umar

Bangunan ini sangat menarik dilihat dari kacamata kelengkapan bangunan dalam gaya arsitektur tradisional Fujian selatan, tempat asal leluhur sebagian besar etnik Tionghoa di Jawa. Ia terdiri dari bangunan utama (tuachu 大厝) yang di tengah, setelah paseban. Bangunan utama terdiri dua cungkup, yang dipisahkan oleh sebuah halaman dalam (chimcne 深井), sebagaimana layaknya sebuah bangunan tradisional, dengan cungkup bangunan kedua atau belakang (aochu 後厝) dibuat lebih tinggi dari cungkup pertama, karena berloteng. Bangunan utama ini diapit oleh dua bangunan sayap (hoochu 護厝) di kiri-kanannya, dipisahkan dari bangunan utama oleh halaman dalam di kedua sampingnya. Bila bangunan utama bergaya bergaya bubungan atap Ekor Walet, maka kedua bangunan samping bergaya Pelana. Ini menunjukkan pembedaan status antara keduanya.
Uniknya lagi, selain bangunan bergaya arsitektur Tionghoa, country house ini juga memiliki bangunan bergaya arsitektur Indisch. Lazimnya hanya country house milik tuan tanah Belanda yang berarsitektur Indisch, yakni gaya arsitektur Belanda yang dipengaruhi arsitektur lokal, dengan atap joglo Jawa yang anggun, pilar tuscan Yunani yang kokoh, dan jendela krepyak berukuran besar-besar. Penyangga atapnya adalah besi tempa berukuran raksasa. Bangunan ini pun tak kalah mengagumkan dari bangunan bergaya Tionghoa yang sudah kita bahas.
Meskipun sekilas tampak sangat Tionghoa dan Belanda, bila kita cermati betul-betul, Rumah Kongsi ini sebenarnya adalah bangunan Tionghoa dan Belanda yang sudah mengadopsi banyak unsur lokal. Keduanya merupakan hasil adaptasi bangunan Tionghoa dan Belanda dengan iklim tropis, yang jelas jauh berbeda dengan iklim sub tropis dan dingin di negara asalnya. Keduanya merupakan buah dari perjalanan panjang sejarah arsitektur Indonesia. Keduanya unik dan langka.
Sungguh ironis, tatkala negara-negara jiran Singapura dan Malaysia bergiat dalam upaya melestarikan bangunan-bangunan pusaka nenek-moyang mereka, kita malah menghancurkannya satu per satu!
Di tengah minimnya bangunan tua yang ada di Kota dan Kabupaten Tangerang, sudah selayaknya Rumah Kongsi ini kita selamatkan. Sudah selayaknya bangunan ini dilindungi, dan menjadi ikon kota Tangerang, sebab memang tak ada duanya. Takkan mungkin kita temukan bangunan seperti itu di bagian dunia lainnya, di Tiongkok dan Belanda sekalipun. Bahkan seandainya kita berkesempatan mendirikan bangunan Tionghoa dan Belanda baru di Taman Mini... Rasanya sulit... Otherwise, suatu saat nanti kita tinggal meratapi kehilangan yang kita alami akibat kebodohan kita sendiri. Kita tinggal berkata kepada anak-cucu kita: “Sayang sekali ya, dahulu kita terburu nafsu menghancurkan bangunan itu, hanya karena dorongan materi semata. Padahal apalah arti materi yang tak seberapa dibandingkan nilai historis dan arsitekturnya!!!” Lalu, apa gunanya semua penyesalan itu, apabila nasi telah menjadi bubur...
Semoga jeritan keprihatinan ini ada pihak terkait yang mendengarkan. Amin.

Bogor, 9 Desember 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar