Sabtu, 27 Desember 2008

KOMUNITAS TIONGHOA MERUPAKAN BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI BANGSA INDONESIA


KOMUNITAS TIONGHOA MERUPAKAN BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI BANGSA INDONESIA

Oleh: Siauw Tiong Djin

Judul di atas merefleksikan keyakinan penulis bahwa apa yang dinamakan masalah Tionghoa merupakan bagian masalah bangsa Indonesia. Dengan demikian upaya memperbaiki posisi komunitas Tionghoa di Indonesia tidak bisa tidak harus berkaitan dengan upaya memperbaiki posisi Indonesia di bidang politik, hukum, social dan ekonomi secara keseluruhan.

Perkembangan politik Indonesia dan dunia selama 10 tahun belakangan ini mengubah posisi komunitas Tionghoa di dalam percaturan politik Indonesia. Pemerintahan Gusdur, diikuti dengan pemerintahan Megawati dan pemerintahan SBY membawa banyak kesejukan bagi komunitas Tionghoa.

Pada waktu yang bersamaan, Republik Rakyat Tiongkok muncul sebagai kekuatan ekonomi yang dihormati dunia. Ia memiliki funds dan resources yang bisa diandalkan, terutama oleh dunia yang masih berkembang seperti Indonesia. Cukup banyak delegasi resmi maupun tidak resmi yang kian mengunjungi RRT untuk berdagang. Bahkan cukup banyak di antara para pedagang Indonesia yang kini getol berdagang dengan Tiongkok ini dulu bersikap anti RRT.

Perkembangan ini menyebabkan terulangnya sejarah. Pemerintah Indonesia di zaman Demokrasi Terpimpin, terutama setelah tahun 1963, cenderung dekat dengan RRT karena alasan politik. Indonesia beraliansi dengan pihak New Forces melawan Old Forces (baca Amerika Serikat, Inggris dll). Sebagai akibatnya Indonesia tidak memperoleh bantuan yang diharapkan dari Amerika Serikat dan Inggris sehingga banyak tergantung atas bantuan RRT dan Uni Soviet.

Kini di zaman pemerintahan SBY, pemerintah Indonesia terlihat cenderung mendekati RRT. Kali ini bukan karena alasan politik akan tetapi karena alasan ekonomi. Kemampuan Amerika Serikat dan Jepang dalam memberi bantuan ke Indonesia menurun drastis sedangkan Tiongkok dengan pesat tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang bisa diandalkan.

Tidak bisa tidak kedekatan pemerintah RI dengan RRT di kedua zaman ini menciptakan situasi politik yang favorable terhadap komunitas Tionghoa. Sebuah situasi yang menimbulkan ilusi bahwa masalah Tionghoa di Indonesia sudah selesai. Banyak pedagang Tionghoa merasa bahwa mereka bisa kembali memusatkan perhatiannya untuk membuat keuntungan tanpa memiliki rasa perduli terhadap proses perbaikan yang seyogyanya menumpas KKN, mempercepat terwujudnya demokrasi dan memakmurkan Indonesia scara keseluruhan.

Ini menyebabkan animo banyak orang Tionghoa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang sempat bangkit pada tahun 1998-1999, karena ada keyakinan bahwa reformasi akan turut menyelesaikan masalah Tionghoa, merosot drastis sejak Gusdur menjadi presiden. Kini yang terlihat hanya “asap”-nya saja, “api” yang pernah membara itu hampir padam.

Betulkah kedekatan pemerintah RI dengan pemerintah RRT dan adanya berbagai kebijakan positif pemerintah terhadap kebutuhan sosial komunitas Tionghoa – seperti diizinkannya pertunjukan Liang Liong dan Barongsai, dijadikannya istilah Tionghoa dan Tiongkok sebagai istilah resmi (menggantikan istilah Cina yang mengandung konotasi penghinaan) dan dijadikannya Imlek sebagai hari Nasional -- berarti komunitas Tionghoa bisa menganggap masalahnya selesai dan perjuangan untuk penyelesaiannya bisa dihentikan?

Tentunya tidak. Ilusi tergambar di atas sebenarnya berbahaya dan bilamana tidak diubah bisa menjerumuskan komunitas Tionghoa ke situasi yang sangat merugikan. Benih-benih rasisme bukan dihilangkan melainkan akan dengan cepat berkembang biak sehingga peristiwa-peristiwa anti Tionghoa mudah direkayasa oleh sementara pihak.

Timbullah pertanyaan, apakah keterlibatan komunitas Tionghoa dalam gerakan politik efektif dalam penyelesaian masalah Tionghoa? Apakah terjun ke dalam kegiatan politik tidak berbahaya untuk komunitas Tionghoa secara keseluruhan? Jalur apakah yang harus ditempuhnya, terpisah dari arus induk atau merupakan bagian darinya?

Jawabannya harus dikaitkan dengan pengamatan sejarah. Marilah kita perhatikan perkembangan politik yang berkaitan dengan komunitas Tionghoa di beberapa zaman, di mulai dari zaman penjajahan .

Kegiatan Politik di Zaman Penjajahan

Komunitas Tionghoa mulai secara sistimatik berkecimpung dalam gerakan politik sebagai respons dari bangkitnya nasionalisme Tiongkok yang mencapai puncaknya pada tahun 1920-an. Gearakan ini dipimpin oleh mereka yang bergabung dalam kelompok Sin Po, yaitu kelompok yang mendukung idealisme yang disebarluaskan oleh harian Sin Po. Mereka menganggap Tiongkok adalah negara leluhurnya dan menginginkan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda berorientasi kepadanya.

Ketika Tiongkok gagal berkembang sebagai negara kuat dan makmur, lahir kelompok baru yang bernaung di dalam partai yang dinamakan Chung Hua Hui. Chung Hua Hui didirikan pada tahun 1927 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa yang berpendidikan Belanda. Mereka menganggap Hindia Belanda sebagai bagian dari kerajaan Belanda sehingga menghendaki komunitas Tionghoa ber-orientasi ke negeri Belanda. Chung Hua Hui aktif berkampanye sehingga bisa mengisi kursi-kursi perwakilan Tionghoa di dalam Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk oleh penguasa Belanda.

Pada tahun 1932, lahirlah kelompok ketiga, dipimpin oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Kelompok ini berargumentasi bahwa sebagian besar peranakan Tionghoa lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia adalah tanah airnya. Mereka juga memiliki visi jelas yaitu komunitas Tionghoa harus mendukung gerakan mencapai Indonesia yang merdeka karena di alam merdeka itulah komunitas Tionghoa bersama komunitas Indonesia lainnya akan mengecapi kebebasan mutlak, bebas dari penghinaan dan bebas dari penindasan. Lahirlah gerakan politik yang secara sadar beraliansi dengan arus induk di Indonesia. Sebuah visi yang memiliki dampak penting dan menjadi dasar kehadiran komunitas Tionghoa di Indonesia kini.

Visi perjuangan ini tidak bisa diterima oleh sebagian besar komunitas Tionghoa sehingga PTI tetap menjadi kelompok minoritas di zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi para pemimpinnya tetap teguh dan menjalin hubungan baik dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Adanya ketiga kelompok yang masing masing memiliki sarana pers dan perwakilan politik mendorong kesadaran politik di dalam tubuh komunitas Tionghoa. Yang kemudian menonjol dan berperan dalam melanjutkan kegiatan politik di zaman kemerdekaan adalah para tokoh ketiga kelompok yang di sebut di atas terurtama mereka yang berasal dari kelompok PTI, seperti Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien serta beberapa anak didiknya, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan.

Pada masa pendudukan jepang, 1942-1945, tokoh-tokoh tersebut melanjutkan hubungan dekatnya dengan para tokoh nasional. Parallel dengan partisipasi tokoh-tokoh nasional di para-militer pembentukan Jepang, PETA, tokoh-tokoh Tionghoa, seperti Siauw Giok Tjhan turut pula memimpin pasukan para-militer bentukan Jepang khusus untuk komunitas Tioghoa, yang dinamakan Kebotai.

Kehadiran mereka di dalam kancah perjuangan mencapai kemerdekaan ini menyebabkan beberapa tokohnya seperti Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing duduk di dalam Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia – turut merancang bentuk dan komposisi Negara Republik Indonesia.

Zaman Revolusi Indonesia ( 1945-1949)

Terjalinnya hubungan baik antara para tokoh peranakan Tionghoa, terutama mereka yang bernaung di dalam PTI dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia mendorong partisipasi politik di tingkat nasional.

Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan masuk ke dalam Partai Sosialis, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Banyak orang tidak mengetahui bahwa Partai Sosialis yang mendominasi pemerintahan Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1948 ini menurut sertakan beberapa tokoh Tionghoa seperti Tan Ling Djie, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan di dalam tampuk pimpinannya. Bahkan Tan Ling Djie sebagai Sekretaris Jendral, bisa dikatakan paling berpengaruh di dalam partai tersebut. Mereka ini aktif berpartisipasi dalam menentukan berbagai kebijakan Partai Sosialis, baik dalam bidang eksekutif maupun legislatif.

Disamping kehadiran orang-orang Tionghoa di pemerintahan, terdapat juga wakil-wakil Tionghoa di KNIP (semacam MPR) dan Badan Pekerja (semacam DPR), diantaranya Yap Tjwan Bing, Tan Ling Djie dan Siauw Giok Tjhan.

Kehadiran efektif tokoh-tokoh Tionghoa di dalam Dewan Pimpinan Partai Sosialis dan Badan Legislatif ini menjamin tidak adanya UU atau peraturan-peraturan yang dengan sengaja menekan dan mendiskriminasikan komunitas Tionghoa.

Salah satu sumbangsih penting dari kehadiran mereka di dalam bidang legislatif (Badan Pekerja KNIP) adalah dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 1946 yang menyebabkan semua orang keturunan Asing yang lahir di Indonesia menjadi Warga Negara Indonesia, dengan sistim pasif (hanya menjadi asing kalau mereka secara aktif menolak Kewarganegaraan Indonesia). Ini merupakan manifestasi prinsip yang dicanangkan oleh tokoh-tokoh PTI, yaitu semua orang Tionghoa yang berdomisili di Indonesia menjadikan Indonesia tanah airnya dan menjadi WNI.

Kabinet-kabinet Sjahrir (1946-1947) dan Amir Sjarifuddin (1947-1948) menganggap perlu adanya kementerian negara dengan tugas khusus: memperhatikan masalah minoritas. Kementerian negara ini diisi oleh Tan Po Goan (Kabinet Sjahrir) dan Siauw Giok Tjhan (Kabinet-Kabinet Amir Sjarifuddin).

Sikap pemerintah Partai Sosialis dengan sendirinya anti rasisme dan mengutuk semua tindakan-tindakan rasis.

Walaupun kekacauan-kekacauan rasis tetap terjadi, tetapi pemerintah dengan kesungguhan bertindak menanganinya: menyediakan tempat-tempat penampungan bagi korban-korban kekerasan, membebaskan orang-orang Tionghoa yang ditahan oleh laskar-laskar pemuda bersenjata dan mengancam untuk melakukan penembakan di tempat terhadap para pelaku tindakan rasis. Di sini jelas terlihat perbedaannya dengan pemerintahan sejak lengsernya Soeharto -- dari Habibie hingga SBY-- yang kerap menyuarakan pembelaan-pembelaan lisan terhadap komunitas Tionghoa, tetapi tindakan kongkrit-nya – dalam hal benar-benar menyediakan perlindungan nyata -- tidak dirasakan.

Zaman Demokrasi Parlementer

Di zaman demokrasi parlementer (1949-1959) terdapat cukup banyak anggota parlemen dari komunitas Tionghoa yang aktif mewakili berbagai partai politik. diantaranya Tan Po Goan sebagai wakil PSI, Oey Hay Djoen dan Tjoo Tik Tjoen mewakili PKI, Tony Wen, Tjoa Sie Hwie dan Yap Tjwan Bing mewakili PNI dan Tjung Tin Yan mewakili Partai Katolik.

Bersandar atas pengalamannya di Partai Sosialis, Siauw Giok Tjhan beranggapan bahwa aspirasi komunitas yang ia wakili tidak selalu sama dengan garis kebijakan sebuah partai politik. Terkadang hadir konflik yang mengharuskannya mengikuti disiplin partai. Oleh karenanya ia memilih berada di parlemen sebagai wakil komunitas Tionghoa tidak berpartai.

Akan tetapi ia tetap menjunjung tinggi prinsip bahwa perjuangannya tidak bisa terbatas atas semata-mata persoalan komunitas Tionghoa dan harus memiliki ruang lingkup nasional. Prinsip ini menyebabkan Siauw menjadi salah satu anggota parlemen teraktif dan berpengaruh dalam menyuarakan berbagai pandangan yang bernuansa nasional. Ia berhasil membentuk dan mengetuai sebuah fraksi yang cukup berpengaruh di dalam parlemen, Fraksi Nasional Progresif yang beranggotakan beberapa partai politik nasionalis kecil (diantaranya, Partai Murba, PRN, Acoma, SKI, Permai, Garindo dll) dan anggota non partai seperti Mohamad Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri.

Kehadiran Siauw yang senantiasa didukung oleh fraksi Nasional Progresif dan para kawan dekatnya dari partai-partai politik yang berpengaruh di parlemen dan juga kehadiran para anggota parlemen Tionghoa lainnya berhasil melawan arus anti Tionghoa di dunia legislative. Banyak rancangan UU yang bersifat diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dicabut atau bilamana keluar, diperkecil dampaknya.

Pada masa demokrasi parlementer ini berlangsung sebuah perdebatan sengit tentang Kewarganegaraan Indonesia. Terdapat dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama menginginkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 dicabut – berarti semua keturunan Asing yang sudah secara hukum menjadi WNI kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus secara aktif mengajukan permohonan menjadi WNI dengan mengeluarkan bukti-bukti tertulis bahwa mereka lahir di Indonesia, orang tua pria-nya pun lahir di Indonesia. Kubu kedua ingin mempertahankan status hukum yang didasari atas UU kewarganegaraan 1946.

Perdebatan sengit ini mendorong dibentuknya Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada tahun 1954. Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, didukung oleh fraksi Nasional Progresif di parlemen berhasil membatalkan rancangan UU kewarganegaraan yang diusulkan oleh kubu pertama tersebut di atas, sehingga yang pada akhirnya dikeluarkan adalah UU Kewarganegaraan 1958, yang jauh lebih menguntungkan posisi komunitas Tionghoa ketimbang apa yang diinginkan oleh para musuh politiknya.

Baperki yang berlandaskan program politik nasional – berprinsip bahwa masalah Tionghoa tidak bisa dipisahkan dari masalah nasional -- kemudian berkembang sebagai organisasi yang senantiasa membela kepentingan komunitas Tionghoa dalam melawan berbagai kebijakan diskriminatif. Secara sadar Baperki masuk dalam arus induk politik dan menjadikan penyelesaian masalah Tionghoa bagian dari masalah nasional.

Walaupun sebagian besar anggotanya suku Tionghoa, ia tidak tertutup untuk suku bangsa Indonesia lainnya. Turut mendukung dari dalam beberapa tokoh nasional yang dikatakan “asli” atau “pribumi” seperti Boejoeng Saleh, F.L Tobing, Adam Malik dan J Tumakaka.

Zaman Demokrasi Terpimpin

Di dalam zaman ini (1959-1965) peranan DPR berkurang. Peranan Kabinet dan DPA memegang peranan lebih besar dalam menentukan UU dan berbagai kebijakan pemerintah. Presiden Soekarno berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang hampir mutlak.

Kedekatan Siauw dengan Soekarno menyebabkan Baperki berkembang pesat di zaman ini. Hampir setiap program politik Baperki, yang berkaitan dengan penyelesaian masalah minoritas melalui proses integrasi (golongan Tionghoa dianggap sebagai salah satu suku bangsa Indonesia) diterima oleh pemerintah. Demikian juga program ekonomi-nya yang menginginkan modal-domestik digunakan untuk membangun ekonomi nasional. (Pengertiannya sederhana: Lebih baik menggunakan modal domestik – tidak perduli siapa yang memilikinya, daripada meminjam uang luar negeri. Keuntungan usaha domestik akan berputar di Indonesia. Keuntungan modal luar negeri akan dibawa ke luar negeri).

Baperki berkembang sebagai satu-satunya organisasi Tionghoa yang berhasil memberi pendidikan politik kepada para anggota dan simpatisannya – sebagian besar orang Tionghoa, baik yang peranakan maupun yang totok -- untuk menganggap dan mencintai Indonesia sebagai tanah airnya.

Kedekatan Baperki dengan Soekarno memang menyebabkannya berada di kekuatan politik “kiri” yang berhadapan dengan kekuatan politik “kanan”, yang dipimpin oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai Islam. Oleh karena itu, banyak orang yang menganggap Baperki sebagai organisasi komunis. Akan tetapi semua publikasi Baperki dan tulisan/pidato pemimpinnya, Siauw Giok Tjhan, tidak mencanangkan komunisme sebagai landasan Baperki.

Yang ditonjolkan Baperki adalah keinginan untuk menciptakan Sosialisme ala Indonesia, yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno, sesuai dengan UUD 45. Perlu diingat bahwa massa Baperki adalah para pedagang kecil Tionghoa dan professionals yang tidak mungkin menerima paham komunisme. Disamping itu, program ekonomi Baperki, mengandung anjuran untuk mempertahankan sistim kapitalisme yang memungkinkan dikembangkannya modal domestik milik pedagang-pedagang WNI.

Di dalam zaman ini, posisi politik golongan Tionghoa, secara tertulis, dilindungi. Tindakan menggencetnya segera diserang dan dikutuk oleh Presiden Soekarno. Di dalam kabinet-kabinet-nya terdapat juga menteri-menteri Tionghoa, diantaranya Oei Tjoe Tat dan David Cheng. Di dalam DPA terdapat juga Siauw Giok Tjhan, yang juga duduk sebagai anggota DPR/MPRS. Kehadiran mereka turut mempengaruhi keluarnya UU/peraturan-peraturan serta GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang menguntungkan posisi golongan Tionghoa, khususnya dan rakyat Indonesia umumnya.

Akan tetapi aliansi politik dengan Soekarno dan golongan kiri ini menyebabkan turut diganyang oleh kekuatan kanan yang dipimpin oleh jendral Soeharto, yang pada akhirnya menggulingkan Soekarnoa pada tahun 1966. Baperki resmi dibubarkan pada bulan Maret 1966 dan banyak tokohnya, termasuk Siauw Giok Tjhan meringkuk di penjara tanpa proses hukum selama 12 tahun.

Zaman Orde Baru

Hancurnya Baperki dan lenyapnya para tokohnya didalam percaturan politik Indonesia diikuti dengan kehadiran berbagai kebijakan anti Tionghoa Di dalam zaman ini tidak ada lagi representasi efektif golongan Tionghoa, baik di pemerintahan maupun badan legislatif.

Posisi Baperki sebagai conduit politik antar pemerintah dan komunitas Tionghoa diganti oleh musuh politiknya, LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang mencanangkan program assimilasi – menganjurkan orang Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaannya dengan mengganti nama, menanggalkan semua adat-istiadat Tionghoa dan kawin campuran. Ini menyebabkan dilegitimasikannya kebijakan assimilasi di Indonesia dan keluarlah berbagai kebijakan resmi yang berdasarkan paham assimilasi, di antaranya:

  1. Larangan menggunakan bahasa Tionghoa
  2. Larangan penjualan dan penyebaran bahan bacaan Tionghoa
  3. Larangan merayakan tahun baru Imlek
  4. Larangan pertunjukan Liang Liong dan barongsai
  5. “pemaksaan” pergantian nama dari yang berkaitan dengan Tionghoa menjadi non Tionghoa

LPKB secara sadar tidak berkembang sebagai organisasi massa dan tidak menginginkan komunitas Tionghoa ber-organisasi secara ke-Tionghoaan yang dianggapnya bersifat eksklusif. Tokoh-tokoh LPKB seperti Harry Tjan dan Jusuf Wanandi sangat berperan melalui CSIS dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintah di awal Orde Baru. Melalui jalur ini mereka, dalam batas-batas tertentu, berhasil melindungi komunitas Tionghoa dari arus anti Tionghoa yang bangkit pada tahun-tahun 1965-1967.

Akan tetapi, mereka-pun, terutama setelah kedekatan dengan Soeharto berkurang pada tahun 1970-an, tidak berdaya membendung arus anti Tionghoa yang melahirkan berbagai kebijakan anti Tiongkok/Tionghoa yang bersandar atas kesan bahwa Tiongkok dan komunitas Tionghoa yang cenderung mendukung RRT sinonim dengan Komunisme. Keluarlah berbagai kebijakan rasis, di antaranya:

  1. Ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa
  2. Diadakan jatah untuk orang Tionghoa masuk universitas negara dan posisi-posisi penting
  3. Adanya tanda khusus di kartu penduduk untuk komunitas Tionghoa
  4. Dikeluarkan dan dilaksanakan ratusan UU dan peraturan pemerintah yang bersifat rasis

Di dalam zaman ini komuitas Tionghoa tidak bisa berpolitik dengan leluasa. Bahkan menonjolkan ke-Tionghoaannya dianggap merugikan, baik dari segi politik, ekonomi maupun sosial. Hanya beberapa orang yang memiliki keberanian dan kesungguhan luar biasa berani terjun dalam arena politik dan bersikap kritis terhadap pemerintah RI, diantaranya Arief Budiman dan mendiang Yap Thiam Hien.

Tindakan-tindakan semena-mena terhadap golongan Tionghoa dilegitimasikan. Tanpa adanya organisasi massa yang berpengaruh, tanpa adanya tokoh-tokoh politik yang berpengaruh dalam membela dan melindungi kepentingan komunitas Tionghoa, golongan ini digencet dan diperlakukan sebagai anak tiri di rumahnya sendiri.

Juga berkembang situasi di mana segelintir pedagang Tionghoa beraliansi dengan pimpinan pemerintah serta kronis-nya dalam menghisap rakyat dan menguras kekayaan Indonesia demi kepentingan golongan penguasa elite dan kronis-nya. Timbullah kesan salah bahwa komunitas Tionghoa secara keseluruhan berdosa akan kemiskinan yang meraja lela terutama pada saat Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun-tahun 97 dan 98.

Paham assimilasi yang dilegitimasikan ternyata gagal dalam melahirkan keharmonisan masyarakat yang diimpikan para pencetusnya. Setelah melalui proses assimilasi yang dihukumkan selama 32 tahun, komunitas Tionghoa tetap menjadi sasaran rasis beberapa kali, terparah pada bulan Mei 1998.

Perkembangan di zaman ini menimbukan kesimpulan bahwa kekuatan politik yang semata-mata bersandar atas kekuatan tingkat atas pemerintah, tanpa kekuatan massa di lapisan akar rumput – grass roots tidak akan membuahkan perlindungan efektif dan jangka panjang. Juga timbul kesimpulan bahwa ke-efektifan sebuah organisasi dan program politiknya sangat tergantung atas sikon domestik dan internasional.

Baik Baperki maupun LPKB terlalu dekat dengan kekuatan politik tingkat atas. Kedekatan yang mengharuskan kedua organisasi ini menanggalkan berbagai prinsipnya dengan kenyataan pahit: harus menggigit jari ketika ada pergantian sikap di tingkat atas yang merugikan bahkan menegasi program politiknya.

Pasca Soeharto

Lengsernya Soeharto pada bulan Mei 1998 membuka kemungkinan bagi masyarakat untuk mengeluarkan suara-suara kepedulian, kemarahan dan tuntutan-tuntutan yang sudah lebih dari 32 tahun terpendam atau dengan paksa dipendam. Era baru yang dikenal sebagai era reformasi dimulai.

Di awal era ini berbagai tindakan yang mengintimidasi komunitas Tionghoa dirasakan berkurang, sebagian karena timbulnya kekacauan-kekacauan dalam skala yang jauh lebih besar (dalam hal korban jiwa dan harta) di berbagai tempat, termasuk Banyuwangi, Ambon, Aceh dan Timor Timur, sebagian karena ada kepositifan pemerintahan Gusdur yang cenderung menginginkan diterimanya komunitas Tionghoa dalam tubuh bangsa Indonesia.

Era ini juga mendorong bangkitnya keinginan untuk berpolitik di Indonesia. Komunitas Tionghoa tidak tertinggal. Sejak pertengahan 1998 berdirilah berbagai organisasi yang baik khusus beranggotakan masyarakat Tionghoa maupun mendorong suku bangsa lain untuk masuk, tetapi bertujuan membawa aspirasi Komunitas Tionghoa dan bersikap anti rasisme. Ada yang berbentuk partai politik, ada yang berbentuk organisasi sosial dan ada pula yang berbentuk organisasi massa dengan program-program politik.

Di antaranya:

  1. Parti (Partai Reformasi Tionghoa Indonesia) dipimpin oleh tokoh-tokoh yang pernah aktif di KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia)

  1. Parpindo (Partai Pembauran Indonesia) dipimpin oleh tokoh-tokoh yang ingin menyebar-luaskan program assimilasi pembauran. Junus Jahja, tokoh LPKB, anggota DPA menjadi salah satu sponsor utamanya,
  1. PBI (Partai Bhineka Tunggal Ika) dipimpin oleh seorang pengusaha totok Hakka (Nurdin Purnomo) satu-satunya partai Tionghoa yang berhasil memperoleh tiga kursi untuk DPR dalam Pemilu 99 (dua untuk Kalimantan dan satu untuk Medan). Di Indonesia merupakan partai ke 11 (355,000 suara);

  1. PWBI (Partai Warga Bangsa Indonesia) Mencanangkan program politik nasional dan menggaris-bawahi definisi Bangsa Indonesia (Nasion Indonesia)
  1. SNB (Solidaritas Nusa Bangsa) Dipimpin oleh para pengacara muda yang aktif di LBH. Dipimpin oleh Ester Yusuf, organisasi ini turut berperan dalam persiapan bahan dasar UU-Kewarganegaraan Indonesia 2006.

  1. Gandi (Gerakan Anti Diskriminasi) Dipimpin oleh kelompok professionals yang sukses di dalam bidangnya.
  1. Simpatik (Solidaritas Pemuda Pemudi Tionghoa Untuk Keadilan) – beranggotakan mahasiswa/mahasiswi serta pelajar SMA.

  1. PSMTI (Panguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) – Dipimpin oleh seorang Jendral purnawirawan keturunan Tionghoa (Teddy Yusuf). Terdiri dari beberapa kelompok Marga Tionghoa.
  1. Kalimas (Komite Aliansi Kepedulian Masyarakat Surabaya) – Dipimpin oleh pemuda/pemudi Tionghoa di Surabaya. Banyak membantu korban-korban Mei 98.

  1. BKAASJ (Badan Koordinasi Antar Alumni Se-Jakarta) – mengkoordinasikan perkumpulan –perkumpulan Alumni sekolah-sekolah Tionghoa di Jakarta. Massa-nya besar dan mencakup penduduk dari umur 40-an sampai 60-an.
  1. INTI (Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia) – dipimpin oleh professionals dan pedagang-pedagang kelas menengah yang juga sukses di dalam bidangnya masing-masing. Merupakan organisasi massa pertama setelah tahun 65, yang ingin terjun dalam gerakan politik.

Lepas dari aliran politik dan motivasi setiap organisasi tersebut di atas, mereka berdiri di atas landasan ke-Tionghoa-an dengan tujuan menciptakan situasi dan kondisi yang menghilangkan tekanan-tekanan terhadap komunitas Tionghoa. Sebuah program politik yang tidak pernah bisa hidup di zaman Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Ketiga Pemilihan Umum setelah lengsernya Soeharto juga menurut sertakan partisipasi partai-partai politik yang mewakili komunitas Tionghoa dan calon-calon Tionghoa dari bberapa partai politik besar dan berpengaruh sehingga terdapat beberapa anggota DPR Tionghoa.

Yang menarik perhatian, cukup banyak pencetus dan bidan pendirian organisasi-organisasi Tionghoa tersebut di atas adalah mantan pelajar dan mahasiswa sekolah-sekolah dan universitas Baperki, di antaranya Benny Setiono, tokoh INTI dan Tan Swie Ling, pemimpin redaksi majalah Sinergi. Sebuah tanda bahwa pendidikan politik Baperki menanamkan benih-benih kesadaran politik yang mendalam sehingga di saat yang tepat, animo dan kemampuan untuk berorganisasi segera bangkit.

Sumbangsih penting kehadiran para tokoh Tionghoa didikan Baperki ini adalah persiapan bahan untuk rancangan UU kewarganegaraan Indonesia yang kemudian disahkan oleh DPR sebagai UU Kewarganegaran Indonesia 2006. Mereka berhasil memobilisasi dukungan luas baik dari komunitas Tionghoa dan komunitas mayoritas di berbagai lapisan untuk mencapai kesepakatan yang sesuai dengan aspirasi komunitas Tionghoa, yaitu ingin diterima sebagai Warga Negara Indonesia tanpa adanya perbedaan atas dasar ras. UU ini juga menghilangkan legitimasi hukum adanya istilah “asli” atau “pribumi”. Yang ada hanyalah satu bentuk kewarganegaraan.

Sejak pemerintahan Gusdur terdapat pula kementerian dalam bidang ekonomi penting yang berada di tangan seorang Tionghoa. Kwik Kian Gie menjadi menko ekonomi di zaman Gusdur dan kemudian ketua Bappenas di zaman Megawati. Mari Pangestu menjadi menteri perdagangan di pemerintahan SBY. Dengan dikukuhkannya kekuasaan otonomi daerah terdapat pula beberapa bupati Tionghoa.

Akan tetapi kehadiran para tokoh politik Tioghoa di bidang eksekutif tersebut tidak lahir dari kegiatan politik akar rumput komunitas Tionghoa. Mereka berada di posisi-posisi penting ekesekutif tidak sebagai wakil komunitas Tionghoa dan mereka tidak menyuarakan dan membawa aspirasi komunitas Tionghoa. Sehingga timbul kekhawatiran bahwa bilamana bangkit tindakan anti Tionghoa mereka tidak bisa secara efektif melindungi komunitas ini.

Bangkit pula kekhawatiran melihat lenyapnya animo berjuang melalui jalur politik. Dari begitu banyaknya organisasi politik yang lahir dan berkembang sejak tahun 1998, terlihat hanya INTI yang masih mempertahankan kegiatan politiknya. Ini-pun terlihat menurun drastik. Jajaran pimpinan INTI baru lebih memiliki kredensial pedagang ketimbang pengalaman berorganisasi politik sehingga timbul kesan bahwa INTI lebih berfungsi sebagai Kamar Dagang ketimbang organisasi politik.

Dasar kekhawatiran timbul karena lenyapnya kekuatan politik yang merupakan bagian arus induk dan yang bersandar atas kekuatan massa. Dengan demikian tumpuan komunitas Tionghoa hanyalah kebijakan pemerintah dan para tokoh politik yang bersimpati terhadapnya. dan ini tidak menjamin adanya perlindungan dan perbaikan yang menyeluruh dan bersifat jangka panjang.

Kesimpulan

Pengamatan sejarah di atas menyimpulkan bahwa komunitas Tionghoa tetap harus memiliki wadah politik efektif untuk membela hak dan memenuhi kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia. Dan tokoh-tokohnya tampil sebagai tokoh-tokoh politik yang berpengaruh di dalam tingkat tertinggi di bidang eksekutif (pemerintah), legislatif dan tentunya judikatif. Dan keterlibatan ini harus merupakan bagian arus induk.

Pengkonsolidasian upaya ini bisa dilakukan melalui 4 wawasan utama:

Wawasan Politik

Berbahaya untuk berjuang dalam kancah politik? Setiap perjuangan tentu mengandung resiko dan terkadang “harga” perjuangan politik demi prinsip-prinsip tertentu tinggi sekali. Akan tetapi ketidak adanya keterlibatan dan komitmen politik bisa menimbulkan malapetaka dan penderitaan berkepanjangan yang merugikan sebagian besar komunitas Tionghoa, seperti yang dialami pada zaman Orde Baru.

Kegiatan dalam wawasan politik ini harus dilakukan melalui tiga jalur:

  1. Jalur Organisasi massa:

Sejarah-pun menunjukkan bahwa aspirasi komunitas Tionghoa tidak akan selalu sama dengan aspirasi partai-partai politik besar. Oleh karena itu komunitas Tionghoa memerlukan sebuah wadah politik yang memiliki massa. Akan tetapi ruang lingkup perjuangannya harus bersifat nasional. Dalam membawa aspirasi komunitas Tionghoa, prioritas nasional harus diutamakan.

Perlukah organisasi-organisasi, seperti PMTSI ini bersifat eksklusif, dalam pengertian hanya beranggotakan orang-orang yang bersasal dari komunitas Tionghoa? Setelah dibungkam dan dilarang berorganisasi selama 32 tahun, keinginan untuk berorganisasi berdasarkan latar belakang dan nasib serupa adalah sebuah hal yang wajar. Ke-eksklusifan yang terbatas kepada keberadaan bersama berdasarkan asal usul keturunan saja tidak merusak dan berbahaya asal nuansa program politiknya tidak bersifat eksklusif dan membangun upaya perbaikan nasional menyeluruh.

Sejarah menunjukkan pula bahwa organisasi-organisasi tersebut harus sebisanya bersikap netral dan menghindarkan diri dari arus polarisasi yang berkembang. Secara prkatis ini tentu sulit, tapi perlu dicegah terulangnya pengalaman pahit Baperki di akhir zaman Demokrasi Terpimpin.

  1. Jalur Partai Politik nasional

Tokoh-tokoh Tionghoa, baik yang aktif memimpin organisasi-organisasi tersebut di atas maupun sebagai individu harus masuk dan berperan di dalam partai-partai politik besar sehingga memiliki kemampuan dalam menentukan program politik yang mengenyahkan kebijakan rasis.

Keberadaan di dalam tingkat nasional ini akan mempercepat proses perlindungan dan perbaikan yang diinginkan.

  1. Jalur LSM

Melalui LSM-LSM para aktivis Tionghoa bisa berperan dan menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Sikap demikian menunjukkan bahwa komunitas Tionghoa men-integrasikan dirinya dalam kegiatan di setiap lapisan masyarakat demi kebaikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Wawasan Hukum

Iklim politik dan sosial sebuah negara sangat tergantung atas Undang-Undang dan peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku.

Nation-Building merupakan proses terpenting dalam mengkonsolidasi kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Republik Indonesia yang tidak ber-bangsa tentunya bukan negara. Yang dimaksud dengan bangsa di sini bukanlah race -- karena dunia tidak mengenal adanya Indonesian race. Yang dikenal adalah Indonesian NationBangsa Indonesia – yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa yang ternyata merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia.

Usaha membangun bangsa – Nation Building, harus dikaitkan dengan kewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Indonesia-lah yang memberi makna hukum keberadaan Nasion Indonesia. Bilamana pengertian ini dihayati, diskriminasi rasial tidak akan bisa dilegitimasikan, karena setiap Warga Negara Indonesia tentunya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal asal usul keturunan, agama dan status sosial-nya. Dalam hal ini UU Kewarganegaraan Indonesia 2006 telah memberi jaminan hukum kuat.

Akan tetapi UU Kewarganegaraan saja tidak cukup. Bilamana dasar setiap UU dan peraturan serta kebijakan/pelaksanaan UU yang berlaku bersandar atas a citizenship based nation yang tertuang di dalam UU Kewarganegaraan yang baru itu, setiap usaha yang mengandung diskriminasi rasial dengan sendirinya melanggar hukum dan harus ditindak atas dasar hukum pula. Dengan demikian, UU dan peraturan yang mengandung elemen diskriminasi rasial yang kini masih berlaku, tidak memiliki legitimasi hukum dan harus segera dihapus. Mereka harus diganti dengan berbagai UU dan peraturan yang memungkinkan semua komponen bangsa – semua Warga Negara Indonesia --untuk bisa menyumbangkan tenaga, pikiran, funds dan resources untuk kemajuan Indonesia secara keseluruhan, tanpa perbedaan apapun.

Ini memerlukan perjuangan di wawasan hukum melalui institusi-institusi legislatif, ekesekutif dan yudikatif.

Wawasan Sosial

Keharmonisan dalam masyarakat merupakan sandaran utama untuk mengurangi bahkan meniadakan benih-benih rasisme yang ditanam oleh penjajah Belanda dan kemudian turut dikembang-biakkan oleh rezim Orde Baru.

Jalan keluar yang pernah dianjurkan oleh Baperki di masa hidupnya terasa masih relevan. Mereka menganjurkan golongan Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam semua tingkat kegiatan Indonesia, sehingga aspirasi rakyat Indonesia menjadi aspirasi golongan Tionghoa. Mereka mempertegas bahwa untuk ini, suku Tionghoa, sama halnya dengan para suku lainnya, tidak perlu menanggalkan ciri-ciri kesukuannya, apalagi yang tercermin dalam bentuk biologis, nama, adat istiadat, bahasa dan kebudayaan. Perbedaan-perbedaan yang ada semestinya memperkaya bahkan memperkuat keberadaan bangsa Indonesia. Persatuan, bagi mereka, tidak berarti semua golongan yang ada dipaksa untuk meleburkan dirinya ke dalam tubuh pihak mayoritas.

Perkembangan sosial selama 8 tahun terakhir ini menyejukkan. Perayaan-perayaan tahun baru Imlek sejak tahun 2000 berjalan lancar. Dijadikannya Imlek hari libur nasional dan pengucapan selamat Imlek dari berbagai lapisan masyarakat membangkitkan iklim sosial yang sehat. Masyarakat Indonesia bisa menikmati pertunjukan Liang Liong dan Barongsai secara besar-besaran. Perayaan besar-besaran ini berlangsung tanpa kerusuhan, tanpa gangguan masyarakat.

Yang lebih mencolok lagi banyak penari rombongan Liang-Liong dan Barongsai adalah pemuda-pemudi yang di zaman Orde Baru dinamakan “pribumi”. Mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik, karena mereka bukan saja menikmati pertunjukan yang mereka persembahkan, tetapi juga karena mereka menghayati kebudayaan yang berkembang di Indonesia ini. Hal yang sama ternyata dialami banyak pemuda-pemudi Tionghoa yang gemar menari tarian-tarian daerah Indonesia. Mereka-pun bisa dengan trampil menarikan tarian-tarian itu tanpa menujukkan “keasingan”.

Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia disamping memiliki toleransi terhadap berbagai perbedaan, juga menghargai adat istiadat serta kebiasaan yang dianut oleh suku-suku lainnya. Kelancaran perayaan-perayaan tersebut di atas juga membuktikan bahwa benih-benih rasisme yang melekat di dalam benak banyak orang – akibat kebijakan “divide and rule” penjajah Belanda -- bisa dikesampingkan untuk mendemonstrasikan penghargaan terhadap berbagai perbedaan.

Wawasan Ekonomi

Komunitas Tionghoa dalam berbagai zaman ditonjolkan sebagai golongan yang turut berdosa dalam menindas dan menghisap rakyat terbanyak. Mereka-pun dianggap sebagai golongan oportunis yang hanya ingin memperkaya dirinya dengan mendekati penguasa tanpa memperdulikan nasib masyarakat di sekitarnya.

Pemerintahan Orde Baru yang menjalankan praktek-praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) melahirkan kelas konglomerat yang relatif besar dan berpengaruh. Banyak pedagang tingkat konglomerat memang keturunan Tionghoa.

Akan tetapi mereka ini merupakan minoritas kecil dalam komunitas Tionghoa itu sendiri, yang sebagian besar terdiri dari pedagang eceran kecil, buruh dan tani miskin. Mereka ini senantiasa senasib dengan Rakyat Indonesia pada umumnya. Mereka-pun mengalami penderitaan di masa krisis ekonomi yang terjadi akibat pelaksanaan KKN yang berkepanjangan itu.

Yang perlu diperhatikan dan dimengerti adalah kenyataan bahwa sikap oportunis, memeras dan menindas rakyat yang disinggung di atas adalah karakter utama kelas kapitalis konglomerat. Tingkat kekejaman dan keserakahannya bisa berbeda-beda, akan tetapi siapa-pun yang berada di dalam kelas itu, baik Tionghoa, “pribumi” maupun asing, memiliki sikap yang sama.

Penyelesaian masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari usaha memakmurkan Indonesia sehingga “kemerataan” atau pembagian kemakmuran ini mencapai tingkat yang menggembirakan Rakyat terbanyak.

Untuk itu, pemerintah harus memberi kemungkinan untuk para pedagang Tionghoa yang sudah memiliki pengalaman bergenerasi di berbagai bidang, terutama retail, transportasi dan industri domestik untuk terus mengembangkan usahanya. Usaha para pedagang domestik yang memutarkan modal dan keuntungannya di Indonesia ini jauh bisa diandalkan ketimbang “bantuan” luar negeri yang pada umumnya disertai berbagai persyaratan yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Pemerintah harus mengeluarkan incentives dan menjamin keamanan modal mereka sehingga keyakinan dan keinginan untuk terus berupaya di Indonesia pulih.

Dalam waktu yang bersamaan para pedagang Tionghoa hendaknya menitik beratkan usahanya untuk mempercepat kemakmuran bersama dengan berkecimpung di dalam usaha-usaha padat karya dan pengembangan industri lokal yang memungkinkan dipertingginya export. Keuntungan yang diraih hendaknya dibagi semaksimal mungkin dengan para pegawainya sehingga tingkat hidup mereka mengalami perbaikan yang menggembirakan. Kebijakan ini merupakan “asuransi” ampuh dalam melindungi keberadaan dan pengembangan usaha mereka sendiri, jauh lebih efektif daripada “perlindungan” militer dan usaha penyuapan para pejabat yang menyuburkan KKN.

Perbaikan-perbaikan di keempat wawasan tersebutdi atas ini menjamin dipercepatnya proses penyelesaian masalah Tionghoa yang sangat erat kaitannya dengan Nation Building. Semoga kehadiran organisasi-organisasi semacam PMTSI dan INTI bisa mempercepat proses pendidikan politik yang mengisi jalur demokrasi yang terbuka ini.

80 tahun Sumpah Pemuda.


Oleh :

Andrew A. Susanto
Ketua Umum DPP IP-PSMTI

Beberapa saat lagi kita akan merayakan 80 tahun Sumpah Pemuda. Delapan puluh tahun yang lalu para pemuda di negeri ini berkumpul untuk mencoba mencari, merumuskan, dan mengukuhkan identitas mereka. Setelah melalui serangkaian proses maka pada Kongres Pemuda II akhirnya mereka mendeklarasikan suatu pernyataan sikap tentang “kebersatuan hati” mereka terhadap tanah yang belum terlahir, tanah Indonesia.

Delapan puluh tahun telah berlalu. Indonesia telah merdeka. Pertanyaannya adalah selama 80 tahun ini apakah yang dideklarasikan para rekan-rekan pemuda tempo doeloe masih merasuk, masih menjiwai tiap sanubari para pemuda Indonesia? Kalau jawabannya tidak, maka apa yang salah? Apa yang hilang selama 80 tahun terakhir ini? Saudara-saudaraku para ketua IP, para pengurus, para anggota dan simpatisan, mari kita renungkan bersama-sama pertanyaan tersebut.

Saudara-saudaraku tercinta, IP dibentuk dengan suatu kesadaran nasional bahwa kita para pemuda tionghoa juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa yang tercinta ini. Namun sadar itu saja tidaklah cukup! Harus ada sesuatu yang dilakukan. Cinta bangsa tidak cukup tanpa perbuatan yang nyata. Cinta tanpa perbuatan adalah mati! Oleh karena itu kita harus berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Berbuat apa? Saya rasa yang pertama adalah membangun diri. Balajar dan mau peduli dengan sesama di sekitar adalah modal untuk memulai. Susahkah? Ya memang susah. Saya tidak pernah menyinggung kata mudah sebelumnya. Meskipun sulit tetapi kita harus memaksa diri membiasakan hal tersebut untuk tumbuh di dalam diri kita. Belajar, mau bertumnbuh, dan peduli dengan sesama disekitar kita. Kita budayakan hal ini di dalam organisasi kita.

Saudara-saudara, saya menyadari bahwa memang banyak sekali tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan organisasi kita. Anak-anak muda itu selalu saja ada alasannya untuk malas berorganisasi. Apalagi dengan organisasi yang ada kata Tionghoa-nya, wah malas ah! (Cita-cita Saudara William Tjahjadi, pendiri IP, adalah agar pemuda-pemudi Tionghoa tidak akan ,merasa malu lagi bila bergabung dalam organisasi yang ada kata Tionghoa sebagai nama organisasinya.) Wajar mereka berpikiran seperti itu. Malu takut dikatain cina, lalu diomelin bokap nyokap karena ikut-ikut “Baperki baru”, gak fun karena gak asik kegiatannya adalah alasan-alasan umum anak-anak muda tionghoa untuk menghindari IP. Masih banyak alasan lain, fokus kuliah, kerja, bahkan kadang-kadang pacar dijadikan alasan. Ya saudara-saudaraku, kita maklumi mereka. Mengerti mereka adalah jalan terbaik untuk mengajak mereka.

Masih banyak hal-hal teknis yang harus kita diskusikan bersama untuk mengatasi tantangan ini, namun pada tulisan kali ini saya hanya mau mengingatkan agar kita harus selalu bersemangat. Tantangan akan selalu ada, tetapi kita akan jalan terus. Janganlah kita berhenti sebelum menang. Kemenangan kita adalah apabila rekan-rekan pemuda sudah dapat merasa bersyukur dan bangga bila berada di dalam organisasi kita. Dan bersama-sama dengan mereka kita memiliki budaya kental untuk belajar, mau bertumbuh dengan sengaja, serta peduli dengan sesama disekitar kita. Cepat atau lambatnya cita-cita kita itu tercapai hanya tergantung dari kita. Semangat saudara-saudara, semangat!

Akhir kalam, saya hanya akan mengutip kata-kata almarhum Laksamana John Lee,“Darah saya Tionghoa, agama saya Kristen, bangsa saya Indonesia!”


Salam,

Andrew A. Susanto

TAK HANYA MEMAKNAI,WHAT NEXT?


TAK HANYA MEMAKNAI, WHAT NEXT??

Ronald Susilo
Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga
Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IP-PSMTI)

Kemerdekaan itu tidak mudah didapat. Apa yang sudah diperjuangkan oleh para
bapak bangsa kita di tahun 1908 itu tidak mudah. Bayangkan saja pada saat itu
tidak semua orang menikmati pendidikan seperti yang kita alami sekarang.
Bagaimana para bapak bangsa mengajak sesamanya pada saat itu untuk bersama-sama
memikirkan dan kemudian mewujudkan kesadaran berbangsa dan bernegara dapat
terwujud adalah suatu hal yang mustahil. Itu pemikiran kita sekarang. Tetapi,
bagi mereka bukan masalah. Tindakan nyata dan semangat pantang menyerah akan
mengatasi semua itu. Kira-kira itulah yang akan dikatakan mereka untuk
menghilangkan kerutan di dahi kita akan ketidakmungkinan tersebut. Nah, untuk
kita sekarang, berhentilah berbicara mengenai makna entah itu makna Kebangkitan
Nasional, makna Sumpah Pemuda bahkan makna Reformasi. Sekali lagi berhentilah
berbicara mengenai makna. Makna sekarang ini hanya akan menjadi suatu hal yang
bersifat seremonial. Akan sama artinya dengan makna Ulang Tahun seseorang
bahkan mungkin makna sebuah hari Valentin, selesai makan-makan pulang.
Merayakan si merayakan acaranya tetapi selanjutnya apa? What next? Kita,
sebagai generasi pendiri bangsa dan negara, maupun generasi pemelihara dan
penerus bangsa, tentunya tidak boleh lagi hanya berhenti sebatas memaknai
peristiwa-peristiwa besar tersebut. Berbicara mengenai makna hanya akan menjadi
sebuah konsep yang tidak membumi lagi. Sekarang saatnya kita tunjukkan tindakan
nyata untuk mengisi hari-hari untuk membangun suatu semangat pantang menyerah
guna tercapainya negara Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat.
Peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928 yang dikumandangkan oleh para pemuda
haruslah menjadi cambuk buat kita untuk sadar bahwa hanya persatuan dan
kesatuanlah yang akan membuat tindakan nyata kita terwujud. Berhentilah
berbicara mengenai suku, ras, bahkan agama. Berhentilah berbicara mengenai
kepentingan golongan masing-masing. Sudah bukan saatnya lagi. Kalau ada yang
bertanya, ?Anda orang mana?? jawaban tegas harus kita berikan, ?Saya orang
Indonesia!? bukan malah menjawab, ?Saya orang Jawa?, atau ?Saya orang
Tionghoa?. Harus selalu ingat bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan negara
kita yang begitu indah. Indahnya karena Ika-nya bukan Bhineka-nya sebab karena
kalau berbeda-beda dan terpisah-pisah tidak ada istimewanya sama sekali bahkan
itu sesuatu yang lumrah, tetapi justru karena kita berbeda-beda dan dapat
menjadi satu itulah yang istimewa. Sehingga cita-cita negara kita, negara
Indonesia yang mempunyai satu kesatuan dari Sabang sampai Marauke tetap
merupakan cita-cita kita bersama.
Anda tentu masih ingat kata-kata salah satu founding father Republik Indonesia,
Bung Karno, ?One for All, All for One, All for All?. Kata-kata ini hendaklah
dijadikan dasar pemikiran kita dewasa ini. Dasar bagi berbangsa dan bernegara
yang dibuat oleh para pendahulu kita bukanlah dasar yang lemah. Dasar yang
mereka buat adalah dasar yang sangat kuat dan kokoh. Sesungguhnya kita tinggal
membangun saja. Kita tinggal meng-?upaya?-kan bagunan di atas dasar tersebut.
Kira-kira itulah kata Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama yang selalu
mengkritisi persoalan sosial dan politik demi kecintaannya yang besar akan
negara Indonesia.
Kemerdekaan itu tidak murah. Begitu banyak hal yang telah dilalui bangsa kita
ini untuk membayar nilai kemerdekaan yang telah kita dapatkan. Tetapi
pertanyaan yang timbul seketika, apakah kita sudah benar-benar merdeka di dalam
negara kita sendiri? Masih begitu banyak para koruptor yang ?menjajah? negara
kita. Mereka yang menimbulkan utang, negara alias rakyat yang harus membayar.
Itu namanya kolonialisme. Kita belum merdeka. Dalam bidang politik, yang ingin
berkuasa seakan-akan berhak membawa seluruh anggota keluarga untuk memimpin
satu kerajaan Indonesia. Bahkan kalau perlu tukang kebun dan tukang-tukang yang
lain pun akan dimasukkan untuk memimpin kerajaannya. Ini bukan zaman kerajaan
lagi, Bung! Berhentilah untuk mementingkan kepentingan pribadi. Ingatlah hal
ini sudah pernah terjadi dan hasilnya adalah kehancuran kita di tahun 1998.
Mengenang 10 tahun Peristiwa Reformasi masih banyak hal yang perlu dikembalikan
lagi ke jalur yang sesuai. Sebab reformasi atau perubahan itu bisa banyak hal.
Ke arah yang lebih baik atau buruk. Sebagai contoh sebelum reformasi kita belum
begitu berani berbicara bahkan mendengar kata Pengadilan Negeri saja kita sudah
merinding. Sekarang, semua orang sudah lebih berani. Berani untuk apa? Apa saja
yang penting tidak merugikan kelompok sendiri. Sehingga kita tiba-tiba
dikejutkan dengan kasus penusukan dan pembunuhan di sebuah ruangan lantai tiga
Gedung Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat. Emangnya itu tempat underground bagi
para bandit seperti yang terlihat di film-film? Menakjubkan!! Itulah kira-kira
hasil reformasi yang sudah berjalan 10 tahun di negara ini. Hukum harus kembali
ditegakkan dalam rangka pendewasaan masyarakat sehingga benar-benar siap hidup
dalam alam demokrasi dengan nilai-nilai kemanusiaannya yang universal.
Memaknai ketiga peristiwa besar ini yakni, 100 tahunnya Peristiwa Kebangkitan
Nasional, 10 windunya Peristiwa Sumpah Pemuda, dan 10 tahunnya Peristiwa
Reformasi Indonesia, tidak dengan sendirinya merubah nasib atau keadaan suatu
bangsa, kecuali perubahan itu atau keadaan yang lebih baik itu diupayakan lewat
tindakan konkret. Dan, ?upaya? seperti itu sesungguhnya dapat dilakukan kapan
saja. Suatu bangsa dapat mengubah nasibnya, keadaanya kapan saja??Ya, kapan
saja. Semoga.