Senin, 19 Januari 2009

Acara Menyambut Imlek oleh IP-PSMTI Batam

Special Show:

19 January 2009
Pertunjukan seni musik tradisional tionghua dari Harmoni Music Group. Alat musik yang di pertunjukan adalah Gu Zhen (mirip kecapi) atau Xiao (seluring) dan Er Hu (Mirip Cello tapi cuman dua Senar). Untuk menikmati acara musik seperti ini, kita perlu membayar kurang lebih Rp.30jt untuk pementasan. Namun untuk acara IP, anda silahkan menikmatinya dengan gratis.
Adalah lagi pertunjukan lainnya yang akan dibawakan oleh penyanyi kota batam, Hartono / Aseng, dan juga acara lainnnya.

20 January 2009
Pertunjukan seni Kaligrafi dari master kaligrafy, Mr. Liang & Mr. Song.
perlu kita ketahui, Kaligrafi adalah seni tionghua yang hampir langka di Indonesia. Biasanya satu gambar kaligrafi China bisa dijual dgn harga jutaan rupiah, namun karena ini hanya pertunjukan seni.. Anda dapat belajar gratis langsung dgn masternya. Siapa tau Anda Master Kaligrafi berikutnya... ^^

21 January 2009
Talk Show fengshui dengan Mr. Benard Pan Wang Qi (Pakar Feng Shui) dgn moderator Mr.Sun (pengamat budaya tionghua).
Bagi Anda yang ingin meningkatkan peruntungan bisnis dan kemajuan karir, Anda dapat mempelajari trick2 fengshui yang akan di paparkan oleh Mr.Pan

22 January 2009
Talk Show / Diskusi / Pembahasan mengenai makna imlek antara generasi muda dengan generasi tua. Hhehehe.. Bagi Anda yang belum memahami makna imlek, silahkan datang untuk menghadiri acara ini. Agar ketika di tanya oleh teman2 kita yang non-tionghua, "Apa sich makna imlek itu?"
Anda tidak akan hanya menjawab, "Imlek itu, yaaa.. terima ang pao lah.." karena jawaban itu artinya kita merayakan sesuatu yang tidak kita pahami..

23 January 2009
Akan ada pertunjukan Barong Sai, dan yang jelas adalah.. Chai Shen Ye (dewa keberuntungan) akan bagi2 angpao buat kita.. Agar tahun kerbau ini kita makin hokki, sehat, usaha lancar, dan cita cita tercapai.. bisa juga makin ganteng dan cantik.. (hehehe.. kalo gw doanya tetap ganteng kek sekarang aja)..

*Dewa keberuntungan ini asli kita datangkan dari kelenteng Dewa Rejeki di Limindo Trade Center batam center..

Partisipasi kita adalah wujud dari kepedulian kita akan budaya kita. Karena setiap suku memiliki budaya, maka jangan sampai generasi muda Tionghua tidak mengenal budaya mereka sendiri.

Saya tunggu kehadiran kawan kawan semua pada acara yang spektakular Menyambut Imlek bersama IP - PSMTI.

Best Wishes,
Jun (Bidang Kemasyarakatan IP-PSMTI Kota Batam)

Sabtu, 17 Januari 2009

Zhuge Liang


Kita belajar sedikit tentang sejarah kuno yaa. Ini adalah sumber yang saya dapat dari site Erabaru. Di Buku Three Kingdoms (Sam Kok) saya hanya tau riwayat Zhuge Liang sejak dia bergabung dengan Liu Bei. Mengenai masa kecilnya saya tidak ada sumber yang jelas. Nah.. siapa sebenarnya Zhuge Liang??? silahkan di nikmati artikelnya dan jangan lupa pada nilai yang tertera dalam cerita ini.

Zhuge Liang adalah ahli strategi militer dari negara Han pada zaman Tiga Negara (220-280 A.D.). Dia adalah ahli strategi yang paling cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok. Dia acapkali dilukiskan sedang memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung bangau.
Ketika Zhuge Liang berumur 9 tahun, dia masih tidak dapat berbicara. Keluarganya sangat miskin. Ayahnya menyuruh dia menggembalakan domba di dekat sebuah bukit di sebuah gunung. Di atas gunung ada sebuah kuil Pendeta Tao dimana tinggal seorang Pendeta Tao tua dengan kepala penuh dengan uban. Setiap hari Pendeta Tao tersebut berjalan-jalan santai di luar kuil. Ketika ia berjumpa Zhuge Liang, dia mencoba berkomunikasi dengan anak laki-laki tersebut dengan menggunakan isyarat tangan. Zhuge Liang juga senang “berkomunikasi” dengan Pendeta Tao tersebut dengan isyarat tangan. Pendeta Tao itu menjadi sangat menyayangi Zhuge Liang yang pintar dan menawan itu. Dia mulai mengobati masalah kebisuan anak laki-laki itu. Tidak lama kemudian Zhuge Liang bisa berbicara!
Zhuge Liang sangat gembira ketika akhirnya dia bisa bicara. Dia pergi mendaki menuju ke kuil Pendeta Tao tersebut untuk mengucapkan terima kasih. Pendeta Tao tersebut memberitahukannya, “Ketika kau pulang ke rumah, katakan pada orang tuamu bahwa saya mengangkatmu sebagai murid dan saya akan mengajari kamu membaca. Saya juga akan mengajarimu seni astronomi, geografi dan menerapkan teori Ying dan Yang di dalam strategi militer. Jika orang tuamu setuju, kamu harus hadir di sekolah setiap hari dan kamu tidak boleh membolos!”
Sejak saat itu, Zhuge Liang menjadi murid Pendeta Tao tua tersebut. Hujan atau terang, Zhuge Liang akan mendaki gunung untuk menerima pelajarannya. Dia adalah seorang anak yang sangat pintar dan rajin yang sangat serius dalam pelajarannya. Dia juga mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Pendeta Tao tersebut tidak pernah harus mengajari segala sesuatunya sampai dua kali. Dengan sendirinya Pendeta Tao tersebut menjadi semakin menyayanginya.
Delapan tahun berlalu dengan cepatnya dan Zhuge Liang menjadi seorang remaja.
Suatu hari ketika Zhuge Liang seperti biasanya turun gunung, dia melewati sebuah biara yang telah ditinggalkan, terletak di tengah-tengah gunung. Tiba-tiba datang hembusan angin yang sangat kuat, diikuti dengan badai petir. Zhuge Liang tiada pilihan lain selain berlari masuk ke biara yang telah ditinggalkan itu untuk menghindari badai. Di sana ada seorang wanita muda yang belum pernah dijumpai keluar untuk bertemu dengannya. Dia memiliki sepasang mata yang besar dan alis yang tipis. Dia begitu cantiknya sampai-sampai Zhuge Liang hampir salah mengiranya adalah seorang dewi. Dia segera tertarik dengan wanita muda tersebut.
Ketika badai berhenti, wanita cantik itu menemui dia di depan pintu dan berkata padanya dengan tersenyum, ”Karena sekarang kita sudah saling berjumpa. Kamu bebas untuk mampir dan menikmati secangkir teh kapanpun kau ingin beristirahat dalam perjalananmu turun atau naik ke gunung.” Begitu Zhuge Liang berjalan keluar dari biara itu, dia merasa curiga. “Mengapa saya tidak mengetahui ada orang yang tinggal di biara ini sebelumnya?” pikirnya.
Sejak hari itu, Zhuge Liang mulai sering mengunjungi biara tersebut. Setiap kali wanita cantik itu selalu menghiburnya dengan ramah tamah. Dia memasak makanan yang enak untuknya dan selalu membujuknya untuk tinggal lebih lama. Setelah makan malam mereka selalu berbincang-bincang dengan seru dan bermain catur. Dibandingkan dengan kuil Pendeta Tao, biara tersebut bagaikan surga.
Selalu memikirkan wanita itu mengalihkan perhatiannya dari pendidikannya dan dia mulai kehilangan semangat untuk belajar. Dia semakin lama semakin kurang perhatiannya terhadap ajaran dari Pendeta Tao. Dia juga menjadi pelupa dan mengalami kesulitan dalam mempelajari buku pelajaran baru.
Pendeta Tao tua itu menemukan masalahnya. Suatu hari dia memanggil Zhuge Liang dan menarik napas panjang. “Lebih mudah menghancurkan sebuah pohon daripada menanam sebuah pohon!” ujarnya. “Saya telah menyia-nyiakan banyak tahun untuk kamu!”
Zhuge Liang menundukan kepalanya karena malu dan berkata, “Guru, saya tidak akan mengecewakan anda lagi atau menyia-nyiakan ajaran anda!”
“Saya tidak mempercaimu,” kata Pendeta Tao tua. “Saya tahu kamu adalah seorang anak yang sangat cerdas, karena itu saya ingin mengobati penyakitmu dan memberimu sebuah pendidikan yang layak. Delapan tahun terakhir ini kamu telah sangat dalam pendidikanmu, jadi saya berpikir bahwa kerja keras untuk mendidikmu adalah pantas. Tetapi sekarang kamu melalaikan pendidikanmu. Bagaimanapun pandainya kamu, kamu tidak dapat kemana-mana jika kamu terus-menerus seperti ini! Sekarang kamu berjanji padaku untuk tidak akan pernah lagi mengecewakan aku. Bagaimana saya dapat mempercayai kata-katamu?”
Pendeta Tao tua melanjutkan, “Semua ada penyebabnya.” Kemudian dia menunjuk ke sebatang pohon yang terbungkus oleh banyak tumbuhan merambat yang tebal di halaman. “Lihat pohon itu,” katanya. “Mengapa kamu pikir pohon itu setengah hidup dan sedang berjuang dalam setiap pertumbuhannya?”
“Tanaman merambat yang melilit pohon menghalangi pertumbuhannya!” jawab Zhuge Liang.
“Tepat sekali! Pohon ini mengalami kesulitan untuk tumbuh di gunung cadas dengan tanah yang sedikit ini. Tetapi dia tetap tumbuh karena dia teguh untuk mengembangkan akar dan cabangnya. Dia tidak takut udara panas maupun dingin. Tetapi, ketika tanaman merambat membungkusnya, dia tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Lucukan bagaimana tanaman merambat yang lembut itu bisa mengalahkan pohon yang tinggi dan tegap itu!”
Zhuge Liang sangat pintar, jadi dia segera memahami apa yang dimaksud oleh Gurunya. Dia bertanya, “Guru, anda mengetahui kunjungan saya ke biara itu”
Pendeta Tao tua berkata, “Hidup di dekat air, seseorang akan mempelajari sifat alami ikan. Hidup di gunung, seseorang akan mempelajari bahasa burung. Saya telah mengamati kamu dan tingkah lakumu. Bagaimana mungkin hubungan asmaramu luput dari perhatianku?”
Dia berhenti sebentar sebelum memberitahukan muridnya dengan tatapan yang serius, “Biar kuberitahu kamu kebenaran mengenai wanita cantik itu. Dia bukan manusia. Dia adalah burung bangau dewa di surga. Dia telah diusir keluar dari istana langit sebagai hukuman karena telah mencuri dan memakan buah persik Ratu Langit. Dia datang ke dunia manusia dan menjelma menjadi seorang wanita cantik. Dia adalah bangau dewa yang telah rusak moralnya yang tahunya hanya mencari kesenangan. Kamu telah terpedaya oleh penampilannya, kamu telah menyia-nyiakan tidak hanya waktumu saja. Jika kamu membiarkan dirimu kehilangan kemauanmu, kamu akan kehilangan segalanya! Selain itu, jika kamu tidak menuruti kehendaknya, akhirnya dia akan menyakitimu.
Sampai waktu itu Zhuge Liang baru menyadari keseriusan dari petualangannya. Dengan cemas dia meminta gurunya cara mengatasinya.
Pendeta Tao tua berkata, “Bangau dewa tersebut mempunyai kebiasaan pada tengah malam menjelma kembali ke bentuk semulanya dan terbang ke sungai langit untuk mandi. Ketika dia menjauhi biara, kamu harus masuk ke kamarnya dan bakar jubahnya. Dia mencuri jubah tersebut dari Istana Langit. Tanpa jubah, dia tidak akan dapat menjelma menjadi seorang wanita cantik.
Zhuge Liang berjanji untuk mengikuti instruksi Gurunya. Sebelum ia pergi, Gurunya memberikan sebuah tongkat dengan ukiran kepala naga di ujung atasnya. Dia memberitahu Zhuge Liang, “Ketika bangau dewa tersebut mengetahui kebakaran di dalam biara, dia akan segera terbang kembali dari sungai langit. Dia akan menyadari bahwa kamu telah membakar jubahnya dan akan menyerang kamu. Ketika itu terjadi, kau harus memukulnya dengan tongkat ini! Sangatlah penting untuk kau ingat dan mengerjakan apa yang telah aku beritahukan kepadamu!”
Tengah malam, diam-diam Zhuge Liang pergi ke biara tersebut. Dia membuka kamar wanita itu dan menemukan jubahnya di atas ranjang. Dia segera membakar jubah tersebut.
Ketika bangau dewa sedang mandi di sungai langit, tiba-tiba dia merasa jantungnya sakit. Dia melihat ke arah biara dan melihat api. Dia segera terbang ke bawah dan melihat Zhuge Liang telah membakar jubahnya. Dia menghampiri Zhuge Liang dan berusaha menyerang matanya dengan paruh. Zhuge Liang mempunyai reflek yang cepat. Dia mengangkat tongkatnya dan memukul jatuh bangau dewa. Kemudian dia menangkap ekor bangau itu. Bangau dewa itu memberontak dan berhasil meloloskan diri, tetapi dia kehilangan bulu ekornya pada Zhuge Liang.
Dia menjadi seekor bangau dengan ekor botak. Dia menjadi malu dengan penampilannya, sehingga dia berhenti mandi di sungai langit. Dia juga tidak berani memasuki Istana Langit untuk mencuri jubah lagi, jadi dia tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal di dunia manusia selamanya dan hidup diantara bangau biasa.
Untuk mengingatkan dirinya sendiri akan pelajaran ini, Zhuge Liang menyimpan bulu ekor bangau itu.
Sejak hari itu, Zhuge Liang menjadi semakin rajin. Dia akan menghafal semua yang diajarkan oleh Gurunya dan semua buku pelajaran. Dia benar-benar menyerap apa yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkannya dengan mudah. Setahun telah lewat. Tepat pada hari ia membakar jubah bangau dewa setahun yang lalu, pendeta Tao tua memberitahukannya dengan sebuah senyuman lebar, “Muridku, kau telah belajar dibawah pengawasanku selama sembilan tahun. Saya telah mengajarimu semua yang harus kau pelajari dan kamu telah mempelajari semua buku pelajaran di sini. Ada sebuah pepatah, “Guru membawamu ke pintu masuk, dan terserah padamu untuk berlatih kultivasi.’ Sekarang kamu berusia 18 tahun. Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu!”
Ketika Zhuge Liang mendengar bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya, dia memohon gurunya untuk mengajarinya lagi. “Guru! Semakin banyak saya belajar, saya merasa semakin rendah hati. Saya merasa masih banyak yang harus saya pelajari dari anda!”
“Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Kau harus belajar menerapkan pengetahuanmu didalam kehidupan dan merancang pemecahan yang berbeda untuk situasi yang berbeda! Sebagi contoh, kau telah belajar sebuah pelajaran yang penting dari kunjunganmu dengan bangau dewa bahwa seseorang tidak seharusnya tergoda oleh nafsu atau perasaan. Ini adalah pelajaran berguna yang diperoleh dari pengalaman nyata. Dengan hal itu didalam pikiran, kamu tidak akan dibuat binggung oleh permukaan maya dari dunia ini. Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu. Kamu harus melihat segalanya dalam bentuk sejatinya. Ini adalah nasihat perpisahan saya kepadamu! Saya akan meninggalkanmu hari ini.”
“Guru, kemana Anda akan pergi?” dengan heran Zhuge Liang bertanya. “Dimana saya dapat menemuimu atau mengunjungimu di kemudian hari?”
“Saya akan keliling dunia dan tidak akan menetap lagi.”
Tiba-tiba Zhuge Liang merasakan air mata yang hangat menetes dari matanya. Dia berkata, “Guru! Sebelum anda pergi, anda harus memberikan aku kesempatan untuk bersujud kepada anda dan berterima kasih kepada anda atas pendidikan yang anda berikan padaku!”
Kemudia Zhuge Liang bersujud kepada Gurunya. Ketika dia berdiri, Pendeta Tao tersebut telah menghilang.
Pendeta Tao itu meninggalkannya sebuah jubah dengan gambar patkwa. Zhuge Liang sering memikirkan Gurunya; karena itu, ia sering memakai jubah dengan gambar patkwa sebab memberikannya perasaan bahwa Gurunya berada di sampingnya.
Zhuge Liang tidak pernah lupa nasihat Gurunya, terutama nasihat perpisahannya. Dia membuat kipas dari bulu ekor bangau dewa untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk sangat berhati-hati seumur hidupnya. Ini adalah cerita dibalik kipas bulu terkenal yang dibawa oleh Zhuge Liang.


*ada sumber yang mengatakan bahwa ayah ZhugeLiang meninggal pada saat dia usia 8tahun. Tapi menurut cerita ini, pada umur 9tahun.. ayahnya masi hidup.



Selasa, 13 Januari 2009

Indopos, Selasa 13 Januari 2009

SELAMATKAN RUMAH OEY DJIE SAN

Pemuda Tionghoa Gelar Diskusi

DIPICU mulai terbengkalainya bangunan cagar budaya, puluhan anak muda di sekitar rumah Kapitan Oey Djie San di Karawaci, Tangerang berkumpul untuk melakukan diskusi serta mencari solusi agar bangunan tersebut bisa diselamatkan, Sabtu (10/1) malam lalu. Keberadaan rumah Kapitan Oey Djie San kini 40 persen bangunannya sudah dirusak karena kepemilikannya sudah diambil alih orang lain. Elemen masyarakat, khususnya dari kalangan pemuda-pemudi Tionghoa konsern memperjuangkan kelanggengan bangunan itu. Ken Ken, koordinator pemuda Tionghoa yang peduli bangunan cagar budaya mengungkapkan dirinya merasa ironis melihat bangunan bersejarah itu akan segera dibongkar. “Padahal, bangunan kapitan itu memiliki keunikan arsitektur yang sulit ditemukan di tempat lain. Yaitu keberadaan arsitektur yang menggabungkan arsitektur Eropa (Belanda), local (Melayu Tangerang), dan China . Tidak banyak gedung tua yang memiliki keunikan seperti rumah Kapitan Oey Djie San,” tuturnya kepada Indo Pos.

Maka itu, bersama dengan Ikatan Pemuda PSMTI, Koalisi Antar Generasi dan Anak Langit, serta elemen pemuda lainnya, pihaknya mengharapkan Pemda setempat bisa mengambil alih bangunan itu sebagai bagian dari cagar budaya. Sehingga, lanjutnya, keberadaan bangunan itu bisa terus bertahan sebagai bagian dari wisata budaya Tangerang.

Untuk diketahui, rumah Kapitan Oey Djie San berdiri sejak abad ke 18. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 1,8 hektar itu dulunya merupakan pusat administrasi bagi orang Tionghoa. Juga pernah dipakai sebagai tempat pengungsian masyarakat Tionghoa Tangerang ketika terjadi pembantaian di Tangerang 1946 (peristiwa gedoran).

Sementara itu, bagi Eddie Sadeli selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa Indonesia (LPPMTI) mengaku sangat ironis melihat keberadaan bangunan tua di Indonesia.“Ketika keluarga tidak lagi bisa mengurus bangunan itu, Pemda tidak tanggap mengambil alih. Padahal, situ situ sangat berharga bagi pendidikan sejarah generasi selanjutnya,” imbuhnya. Selain sebagai bagian dari pendidikan sejarah bangsa, bangunan itu juga pantas menjadi aset wisata untuk Pemda setempat. Kendala dana seringkali menjadi keluhan Pemda ketika dituntut untuk melestarikan cagar budaya. “Sepertinya, elemen komunitas Tionghoa pun harus turun tangan. Misalnya, mereka bisa membeli bangunan itu kemudian dipakai sebagai tempat perkumpulan atau rumah abu Marga. Saya rasa, itu solusi yang paling mungkin saat ini,” sarannya. (sic)


Sabtu, 10 Januari 2009


Pernyatan Sikap Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IP-PSMTI)
1. Pada dasarnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan tidak melupakan sejarahnya.
2. Komplek rumah Kapitan Tionghoa Oey Djie San (menjabat 1907-1916) merupakan salah satu saksi sejarah perkembangan Tangerang dan Batavia.
3. Komplek rumah Kapitan Oey Djie San juga merupakan salah satu buah dari perjalanan panjang arsitektur Indonesia yang multikultur dan multietnis.
4. Agar terhindar dari amnesia sejarah maka pelestarian situs-situs budaya adalah kewajiban seluruh generasi muda penerus bangsa.
5. IP-PSMTI mengajak segenap elemen masyarakat Indonesia, Kota Tangerang pada khususnya, untuk melakukan segala upaya untuk melestarikan rumah Kapitan Oey Djie San sebagai harta warisan budaya nasional Indonesia.



Jakarta,10 Januari 2009


Andrew A. Susanto
Ketua Umum DPP Ikatan Pemuda PSMTI

Jumat, 09 Januari 2009

Save Our Heritage!




Oleh :
David Kwa


Dalam sejarah Indonesia wilayah Tangerang doeloe dikenal merupakan wilayah tanah-tanah partikulir. Letaknya yang tidak jauh dari Batavia membuat banyak orang kaya―utamanya orang Tionghoa―tertarik untuk memiliki tanah di wilayah ini. Para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda (Chineesche Officieren) Batavia pun umumnya punya tanah di wilayah ini, dan juga di wilayah Bekasi. Tanah-tanah itu biasanya dijadikan lahan pertanian dan perkebunan: padi, kelapa, singkong dan karet. Dengan banyaknya tanah partikulir yang ada, seharusnya banyak pula country house yang doeloe dibangun para tuan tanah. Namun, kini hampir tak ada lagi country house yang tersisa dari penghancuran dan penjarahan setelah Kemerdekaan, selain Rumah Kongsi Kapitan Oey Djie San ini.
Di antara country house yang tersisa itu, country house milik keturunan Kapitein der Chineezen (kapitan Cina) Oey Djie San Sia 黃如山舍 (baca: Ui Ji San Sia) yang dikenal sebagai Rumah Kongsi alias Rumah Tuan Tanah―ini terbilang unik. Bukan hanya kemegahannya, melainkan juga karena gaya arsitekturnya agak langka kita temui. Sejauh ini, apabila umumnya orang membangun country house dalam satu gaya arsitektur saja, umumnya Belanda, maka country house yang satu ini dalam dua gaya yang seolah saling bertolak-belakang. Bangunan yang satu yang menghadap ke Jalan Teuku Umar bergaya Indisch, artinya arsitektur Belanda khas Hindia, sedang bangunan yang satu lagi, yang menghadap ke Sungai Cisadane, Tionghoa.

Siapakah Oey Djie San?
Kapitein der Chineezen (Kapitan Cina) Oey Djie San Sia 黃如山舍 (masa jabatan 1907-1916) berasal dari keluarga pejabat Tionghoa turun-temurun semenjak kakek-buyutnya. Sebuah papan pujian (pian 匾) berangka tahun 1805 yang masih tersimpan di Kelenteng Boen Tek Bio 文德廟, Pasar Lama, Tangerang, dipersembahkan kepada Koan Im Hoet Tjouw 觀音佛祖 oleh kakek-buyutnya, Oey Tjoen Wie 黃春蔚. Ia sendiri adalah direktur Cultuur Maatschappij (Tanah Partikulir) Karawatji-Tjilongok. Ketika masih sedikit orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda, dia sudah terkenal karena pendidikan Belandanya dan kemampuan berbahasa Belandanya yang sangat baik.
Oey Djie San langsung diangkat untuk mengisi lowongan jabatan kapitan Cina tanpa terlebih dahulu menjabat letnan pada 1 November 1907, menggantikan Oey Giok Koen (masa jabatan 1899-1907) yang pensiun pada bulan itu juga. Saat berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan cabang Tangerang pada 30 Juli 1904, ia menjabat sebagai presidennya, dengan wakil ketua: Kam Kheng In dan Souw Sian Thee.

Rangka kayu kuda-kuda paseban yang berukir indah.

Bangunan country house semacam ini hanya satu-satunya yang ditemukan di wilayah Tangerang, bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Di seluruh Jakarta, bangunan yang mempunyai dua gaya arsitektur Tionghoa-Indisch yang tersisa tinggal satu-satunya―namun bukan country house―adalah gedung Keluarga Souw yang keturunan Luitenant der Chineezen Souw Tian Pie 蘇天庇 (masa jabatan 1848-1860) serta kedua putranya Luitenant der Chineezen Titulair Souw Siauw Tjong 蘇紹宗 (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant der Chineezen Souw Siauw Keng 蘇紹經 (masa jabatan 1897-1913) di Jalan Patekoan (Perniagaan). Rumah yang berasitektur Tionghoa menghadap ke Patekoan, sedang yang Indisch menghadap ke sisi sebaliknya. Sedangkan gedung yang dahulunya berlanggam arsitektur Tionghoa-Indisch lainnya di Jalan Gajah Mada kini telah musnah, sejak gedung lamanya dihancurkan dan di atasnya dibangun gedung baru SMAN II.
Bangunan lain yang juga megah namun secara kosmologi telah rusak akibat ulah vandalisme tangan-tangan tak bertanggung jawab ialah bekas kediaman Majoor der Chineezen Khouw Kim An 許金安 (1879-1945) di Jalan Gajah Mada. Gedung yang dikenal sebagai Candra Naya ini kini berada dalam kondisi rusak berat setelah “diamputasi” anggota tubuhnya dan ditinggalkan bagian torsonya dalam keadaan merana.
Arsitektur bangunan ini adalah arsitektur rumah tinggal, bukan ruko, bergaya arsitektur Fujian selatan (Minnan 閩南). Bangunan rumah tinggal yang terdiri dari bangunan utama yang di tengah, diapit oleh dua buah bangunan sayang kiri-kanan, serta bangunan belakang yang lebih tinggi, dengan sebuah paseban atau pendopo di depannya, sangat unik. Di mata orang awam, gaya bubungan atapnya mirip kelenteng, yakni mirip busur dengan kedua ujung kiri dan kanannya mencuat ke atas dan masing-masing terbelah dua. Gaya bubungan atap (tiongcit) seperti ini disebut Ekor Walet (Yanbue 燕尾), sebab bentuknya mirip burung yang liurnya sangat bernilai sangat tinggi tersebut. Ditambah dengan sepasang Singa Batu (cioqsai 石獅) di kiri dan kanannya, makin kuatlah asosiasi orang dengan bangunan kelenteng. Padahal sebenarnya kedua unsur bangunan ini merupakan privilege yang tidak dimiliki setiap orang.

Pada masa lalu, di Tiongkok, hingga akhir dinasti Qing (1644-1911), berlaku ketentuan ujung bubungan atap bergaya Ekor Walet dan sepasang Singa Batu hanya boleh diterapkan pada bangunan pemerintahan, bangunan keagamaan, serta kediaman para pejabat pemerintah (Mandarin). Rakyat biasa tidak diperbolehkan. Mereka hanya boleh memakai bubungan atap bergaya Pelana (Bepue 馬背), serta tidak boleh memasang sepasang Singa Batu. Akibatnya, jumlah bangunan yang bergaya bubungan atap Ekor Walet dan mempunyai sepasang Singa Batu di depannya―selain kelenteng―sangat sedikit. Sekian banyak bangunan berlanggam arsitektur Tionghoa yang masih tersisa di kota-kota di Jawa, umumnya bergaya Pelana.

Di Jakarta, di sepanjang Angke, Jembatan Lima, Patekoan, Ji Lak Keng, Kongsi Besar, Tongkangan, Petak Baru, Pasar Pagi, Pasar Gelap, Toko Tiga-Toko Tiga Sebrang, Blandongan, Pintu Kecil, Gang Burung, Jembatan Batu, dan Pinangsia; juga di Jatinegara, masih tersisa bangunan-bangunan bergaya Pelana. Yang di kawasan Tanah Abang dan Senen sudah musnah semasa orde babe berkuasa. Sedang yang bergaya Ekor Walet bisa dihitung dengan jari: gedung bekas kediaman Majoor Khouw Kim An (1879-1945) di Gajah Mada (Candra Naya) yang sudah rusak, gedung yang masih dihuni keturunan Luitenant Souw Thian Pie (masa jabatan 1848-1860) dan kedua putranya Luitenant Titulair Souw Siauw Tjong (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant Souw Siauw Keng (masa jabatan 1897-1913) di Patekoan (Perniagaan), gedung yang kini dijadikan bangunan Gereja Santa Maria de Fatima di Toasebio (Kemurnian III) dan tentunya Rumah Kongsi Oey Djie San ini. Selain itu juga, gedung sekolah negeri di Pejagalan (bubungan atapnya terlihat jelas dari jalan layang arah Jembatan Lima-Pintu Besar Utara), gedung seputar (depan?) Pertokoan Chandra di Pancoran, yang hanya bisa terlihat jelas dari lapangan parkir di belakangnya, dan Toko Lautan Mas di Toko Tiga. Dua yang disebut terakhir ini rupanya oleh pemiliknya sengaja “dipatahkan” ujung Ekor Waletnya yang terbelah dua, supaya terkesan mirip Pelana, yang sebenarnya lebih rendah status sosialnya.
Oleh sebab sangat sedikitnya bangunan bergaya Ekor Walet, selain kelenteng-kelenteng, di Jakarta, masyarakat lebih mengenal bangunan bergaya Ekor Walet sebagai bangunan kelenteng, sehingga ada beberapa pihak yang merasa “alergi” kalau rumahnya dibilang “mirip kelenteng”. Akibatnya terjadilah: ujung bubungan atap Ekor Walet sengaja “dipatahkan”, agar tampak mirip dengan Pelana!!!
Di seluruh Kabupaten Tangerang sendiri, sepengetahuan saya, hanya bangunan Rumah Kongsi inilah satu-satunya yang memiliki privilege itu, sebab pemiliknya turun-temurun adalah pejabat Tionghoa (Chineesche Officieren). Kapitan Oey Djie San Sia sendiri adalah putra seorang pejabat Tionghoa, sebab hanya putra pejabat Tionghoa yang berhak menyandang gelar Sia 舍 di belakang namanya. Mungkin Ibu Mona Lohanda bisa menjelaskan siapa nama ayahnya. Dari gayanya, bangunan ini agaknya dibangun pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, maka kemungkinan besar kakek-buyutnya, Oey Tjoen Wie 黃春蔚, lah yang membangunnya.

Bangunan bergaya Indisch yang menghadap ke Jalan Teuku Umar

Bangunan ini sangat menarik dilihat dari kacamata kelengkapan bangunan dalam gaya arsitektur tradisional Fujian selatan, tempat asal leluhur sebagian besar etnik Tionghoa di Jawa. Ia terdiri dari bangunan utama (tuachu 大厝) yang di tengah, setelah paseban. Bangunan utama terdiri dua cungkup, yang dipisahkan oleh sebuah halaman dalam (chimcne 深井), sebagaimana layaknya sebuah bangunan tradisional, dengan cungkup bangunan kedua atau belakang (aochu 後厝) dibuat lebih tinggi dari cungkup pertama, karena berloteng. Bangunan utama ini diapit oleh dua bangunan sayap (hoochu 護厝) di kiri-kanannya, dipisahkan dari bangunan utama oleh halaman dalam di kedua sampingnya. Bila bangunan utama bergaya bergaya bubungan atap Ekor Walet, maka kedua bangunan samping bergaya Pelana. Ini menunjukkan pembedaan status antara keduanya.
Uniknya lagi, selain bangunan bergaya arsitektur Tionghoa, country house ini juga memiliki bangunan bergaya arsitektur Indisch. Lazimnya hanya country house milik tuan tanah Belanda yang berarsitektur Indisch, yakni gaya arsitektur Belanda yang dipengaruhi arsitektur lokal, dengan atap joglo Jawa yang anggun, pilar tuscan Yunani yang kokoh, dan jendela krepyak berukuran besar-besar. Penyangga atapnya adalah besi tempa berukuran raksasa. Bangunan ini pun tak kalah mengagumkan dari bangunan bergaya Tionghoa yang sudah kita bahas.
Meskipun sekilas tampak sangat Tionghoa dan Belanda, bila kita cermati betul-betul, Rumah Kongsi ini sebenarnya adalah bangunan Tionghoa dan Belanda yang sudah mengadopsi banyak unsur lokal. Keduanya merupakan hasil adaptasi bangunan Tionghoa dan Belanda dengan iklim tropis, yang jelas jauh berbeda dengan iklim sub tropis dan dingin di negara asalnya. Keduanya merupakan buah dari perjalanan panjang sejarah arsitektur Indonesia. Keduanya unik dan langka.
Sungguh ironis, tatkala negara-negara jiran Singapura dan Malaysia bergiat dalam upaya melestarikan bangunan-bangunan pusaka nenek-moyang mereka, kita malah menghancurkannya satu per satu!
Di tengah minimnya bangunan tua yang ada di Kota dan Kabupaten Tangerang, sudah selayaknya Rumah Kongsi ini kita selamatkan. Sudah selayaknya bangunan ini dilindungi, dan menjadi ikon kota Tangerang, sebab memang tak ada duanya. Takkan mungkin kita temukan bangunan seperti itu di bagian dunia lainnya, di Tiongkok dan Belanda sekalipun. Bahkan seandainya kita berkesempatan mendirikan bangunan Tionghoa dan Belanda baru di Taman Mini... Rasanya sulit... Otherwise, suatu saat nanti kita tinggal meratapi kehilangan yang kita alami akibat kebodohan kita sendiri. Kita tinggal berkata kepada anak-cucu kita: “Sayang sekali ya, dahulu kita terburu nafsu menghancurkan bangunan itu, hanya karena dorongan materi semata. Padahal apalah arti materi yang tak seberapa dibandingkan nilai historis dan arsitekturnya!!!” Lalu, apa gunanya semua penyesalan itu, apabila nasi telah menjadi bubur...
Semoga jeritan keprihatinan ini ada pihak terkait yang mendengarkan. Amin.

Bogor, 9 Desember 2008









Sabtu,10 Januari 2009
Jam : 19.00 Wib - Selesai
di rumah kapitan 0ey Djie San Jl.Iman Bonjol Karawaci,Tangerang


IP-PSMTI & IP-PSMTI DKI Jakarta
Menggugah hati nurani dan moral pemuda-pemudi Tionghoa,mari kita galang dukungan agar tidak lagi terjadi pengkikisan dan penghilangan sejarah TIONGHOA di ibu Pertiwi ini.
Sudah saatnya kita menyelamatkan rumah kapitan Oey Djie San,sebelum menjadi puing2 tanpa arti.
Jangan sampai nasibnya seperti candranaya.
Jangan sampai anak cucu kita menjadi amnesia sejarah TIONGHOA.


Salam Perjuangan


DPP IP-PSMTI & DPD IP-PSMTI DKI Jakarta

Kamis, 08 Januari 2009

MAKIN MENGUAT EKSISTENSI KETIONGHOAAN DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA



Oleh


DJASMIN, SH., MH


KEBIJAKAN PEMERINTAH REFORMASI TERHADAP WARGA TIONGHOA

Setelah reformasi tahun 1998, era yang menjunjung tinggi demokrasi, tatkala Presiden Soeharto lengser keprabon, mulai muncul pandangan-pandangan baru yang lebih rasional tentang kehidupan dan status masyarakat Tionghoa di Indonesia. Berbagai usaha pun dilaksanakan untuk memperkecil jurang antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia lainnya. Dimulai era pemerintahan Presiden BJ. Habibie melalui Inpres No 26/1988 tanggal 16 September 1998 menghapus istilah Pribumi dan Non Pribumi, agar tidak mempertajam perbedaan antara kedua golongan tersebut. Melalui Inpres No 4 tahun 1999 tanggal 05 Mei 1999 dalam rangka untuk melaksanakan KEPPRES No 56 tahun 1996 tentang bukti SBKRI bagi Warga Tionghoa cukup Akta Kelahiran, KTP dan Kartu Keluarga, serta memulihkan kembali segala hal yang melarang atau membatasi kursus bahasa Mandarin. Kemudian diperbolehkan bagi Warga Tionghoa untuk menyelenggarakan kursus fungsional Praktis Bahasa Tionghoa dengan SK MENDIKNAS Nomor 269/U/1999 tanggal 14 Oktober 1999. Sedangkan dikalangan orang Tionghoa sendiri muncul keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah era Reformasi. Gejala ini merupakan salah satu indikasi adanya proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat Indonesia Tionghoa. Jika dibandingkan dengan keadaan orang-orang Tionghoa di Negara Thailand dan Philipina yang telah berhasil manjalankan proses akulturasi, intergrasi dan asimilasi menjadi Pribumi, maka kedudukan Warga Tionghoa di Indonesia masih berputar-putar dalam mencari legitimasi identitas Ketionghoaannya. Yang perlu dicatat dalam sejarah Indonesia bahwa di bawah Presiden Habibie pers menjadi merdeka, partai politik dan perkumpulan atau organisasi Tionghoa dengan leluasa dibentuk, daerah-daerah mendapatkan otonomi. Dan dalam masa Kepresidenannya yang pendek itulah, warga Indonesia Tionghoa berhenti ketakutan. Pemerintah membuka lebih banyak kesempatan bagi ekspresi kebebasan dan keleluasaan bagi warga Tionghoa untuk berimprovisasi melakukan pembangunan dirinya sesuai dengan karakternya dari sisi geografis, budaya dan adat istiadat.

Keadaan ini terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan KEPPRES No 6 tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang larangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, dan KEPRES No 6 tahun 2000 mengembalikan hak-hak budaya warga Tionghoa serta telah membuka belenggu budaya Tionghoa yang terpasung secara yuridis selama 34 tahun. Dengan demikian terbitnya KEPPRES ini secara sosio yuridis Warga Tionghoa diakui eksistensinya sebagai salah satu komponen bangsa Indonesia. Situasi setelah terbitnya KEPPRES disusul Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 tahun 2001 tanggal 19 Januari 2001 tentang Imlek sebagai hari libur Fakultatif dan dilanjutkan lagi dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor : 62/MPP/Kep/02/2001 tentang pencabutan larangan impor Buku, majalah Bahasa Tionghoa sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/tahun 1973. Kebijakan Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid diarahkan untuk mengakomodasi perbedaan dari pada menghapus perbedaan dalam baju keseragaman yang telah lama menjadi pendekatan resmi Pemerintah Orde Baru.

Dengan berbagai kebijaksanaan Presiden Abdurrahman Wahid pada hakikatnya berangkat dari kesadaran untuk meluruskan keadaan yang memperlakukan warga Tionghoa secara diskriminatif dan sungguh-sungguh memerhatikan ketidakadilan yang diterima oleh warga Tionghoa selama rejim orde baru ; Pemerintah berusaha untuk menuntaskan hubungan universal egaliter antara Warga Tionghoa dan Bumi Putera ; Pancasila pun menjadi ideologi terbuka dan bukan satu-satunya asas bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, warga Indonesia Tionghoa tak lagi takut, bahkan telah merubah sikap orang Tionghoa menjadi berani dan dengan bangga mengakui Ketionghoaan mereka, dan secara drastis terjadi kebebasan perayaan Kong Hu Cu ataupun aktivitas kebudayaan Warga Tionghoa lainnya seperti Sekolah Tionghoa, Majalah dan Buku Tionghoa , Tahun Baru Imlek, Seni Budaya permainan Barongsai, Cap Go Meh, Festival Kue Bulan, wayang po-te-hi salah satu tradisi Tionghoa di Jawa pun beraksi kembali, taman budaya Tionghoa pun mendapat tempat di Taman Mini Indonesia, tradisi sembahyang Ceng Beng (ziarah kuburan) dan segala kegiatan budaya Tionghoa diselenggarakan seluruh tanah air tanpa perlu lagi izin khusus, warga Tionghoa pun bisa membentuk organisasinya sendiri yang beragam.

Ditambah lagi dengan dijadikannya tahun baru Imlek sebagai hari libur Nasional pada era pemerintah Presiden Megawati menerbitkan KEPPRES Nomor 19 tahun 2002 tanggal 09 April 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Kebijakan pemerintah era Reformasi untuk penghapusan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia dilanjutkan oleh pemerintah Presiden Soesilo Bambang Yudoyono dengan mencabut segala bentuk peraturan yang diskriminatif dan berupaya menghapus segala bentuk diskriminasi di Indonesia dengan memberlakukan UU No 12 tahun 2006 tanggal 02 Agustus 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan UU No 23 tahun 2006, tanggal 29 Desember 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang pada essensinya orang-orang keturunan Tionghoa dikembalikan haknya sebagai Warga Negara Indonesia tanpa perlu dibebani lagi dengan kepemilikan surat-surat semacam SBKRI. Masyarakat Tionghoa kini diakui sama secara hukum dengan masyarakat lainnya yang sebangsa dan setanah air ; Bangsa Indonesia tidak lagi didefinisikan dalam arti bangsa Indonesia yang Pribumi. Secara hukum dan Konstitusional kedudukan Warga Tionghoa memang dijamin kemerdekaan dan persamaan hak Kewarganegaraan berdasarkan UU No 12 tahun 2006 dan kependudukannya berdasarkan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah menghapus dikotomi Rasial Indonesia asli dan bukan asli ; status hukum keturunan Tionghoa menjadi jelas tetapi pada kenyataannya, diskriminasi tetap saja eksis. Jika implementasi UU kewarganegaraan dan ADMINDUK ini berjalan dengan baik, maka masa depan Indonesia baru tidak lagi membuang energi mubazir dengan politik diskriminasi rasial seperti yang Warga Tionghoa alami sebelumnya. Dengan demikian demi hukum tidak ada lagi perbedaan Asli dan tidak Asli, Pribumi dan Non Pribumi, sehingga keturunan Tionghoa, Arab ataupun India secara otomatis sejak kelahirannya sudah sama-sama warga Negara Indonesia yang tidak pernah mengganti kewarganegaraannya atas kemauan sendiri adalah menjadi Negara Indonesia Asli.

INDONESIA MENCARI PLURALISME KEMBALI

Dari rangkaian kebijakan 4 (empat) Presiden Republik Indonesia dalam era Reformasi tersebut secara tidak langsung telah memandulkan kebijaksanaan asimilasi, boleh dikatakan lebih mendekati konsep Pluralisme dan konsep Integrasi, Indonesia mencari Pluralismenya kembali ; terlepas dari konsep yang di gagas oleh BAPERKI, perlu dicatat bahwa dari sebelum kemerdekaan sampai dengan Negara bangsa ini terbentuk sejak proklamasi kemerdekaan hingga Orde Baru belum ada kesungguhan Rejim yang berkuasa untuk menyelesaikan hubungan Sosial Politik masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lainnya secara mendasar, efektif dan berdasarkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Baru dalam era Reformasi ini permasalahan besar dan mendasar hubungan sosial politik masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lain mulai mendapat pemecahannya melalui politik hukum berupa KEPPERS, Inpres dan terakhir dengan UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menghapus dikotomi rasial Indonesia Asli dan bukan asli. Dengan demikian bangsa Indonesia tentu akan mengalami suatu Fase yang baru, suatu masa ketika Warga Tionghoa di Indonesia bisa sungguh-sungguh merasakan bahwa Indonesia adalah Negeri kita. Bukan tidak mungkin bahwa proses Asimilasi, Integrasi dan Pluralisme berjalan baik, wajar dan alami ; Warga Tionghoa dan Warga Bumi Putera membaur menjadi satu, semua suku bangsa Indonesia pun akan bersatu dalam hal Asimilasi, Integrasi dan Pluralisme wajib digalakkan, jika Indonesia benar-benar hendak menerima keragaman dan hak minoritas dalam bingkai multikulturalisme.


KEBEBASAN MASS MEDIA TIONGHOA

Setelah Reformasi terus bergulir, ruang ekspresi bagi masyarakat Tionghoa di bidang pers dibuka kembali, dengan sejumlah media publikasi barbahasa Tionghoa, baik melalui penerbitan buku-buku dan majalah Tionghoa bebas beredar maupun media penyiaran seperti metro TV merebut peluang pasar di kalangan Tionghoa dengan menayangkan acara berita Metro Xinwen yang berbahasa mandarin, demikian juga DAAI TV yang menyiarkan Berita Gerakan Sosial Yayasan Tzu Chi dan drama kemanusiaan, termasuk radio pun mengambil program yang sama seperti Radio Cakrawala yang menyiarkan program dengan berbahasa Mandarin dan Indonesia dengan menyiarkan program-program acara musik dan lagu serta berita berbahasa mandarin. Pers Tionghoa kembali muncul kepermukaan dan meramaikan khazanah kehidupan pers di tanah air seperti Majalah Sinergi, Majalah China Town, Tabloid Mandarin Pos, Majalah Suara baru, Koran Sinar Glodok, Koran Guo Ji Ri Bao (Jawa Pos Group), National News, Harian Indonesia dan Indonesia Shang Bao, kemudian tumbuh dengan subur tempat kursus bahasa Mandarin menjadi populer baik bagi warga Tionghoa maupun bagi warga Bumi Putera.

Semangat kebebasan setelah menampilkan kembali identitas dan aneka budaya Tionghoa dalam pers Tionghoa. Pers Tionghoa berlomba-lomba memanfaatkan momen kebebasan tersebut dengan menampilkan berita-berita tentang pelestarian tradisi leluhur, problem-problem budaya, persoalan sara, iklan duka cita dan perkawinan, berita aktivitas Perkumpulan, Yayasan, Peguyuban dan tokoh-tokoh Tionghoa yang sarat dengan politik identitas dan representasi identitas Warga Tionghoa yang menampilkan tulisan-tulisan dengan huruf Tionghoa. Era Reformasi menjadi era representasi identitas budaya Tionghoa ; sangat signifikan perubahan yang drastis dan cukup nyata berkaitan dengan ekspresi Kebudayaan Tionghoa.

Namun Pers Tionghoa belum menjadi sarana efektif untuk menuangkan aspirasi politik Warga Tionghoa. Pers Tionghoa justru terkesan menjadi media reuni bagi masyarakat Tionghoa yang rindu pada tradisi-tradisi lama yang semakin luntur oleh terpaan globalisasi. Hanya sedikit Media Massa yang berani menampilkan persoalan politik diskriminasi rasial dan nasionalisme serta kurang memberi ruang bagi penulis potensial untuk menuangkan aspirasi politik tetapi lebih menonjolkan perjuangan meneguhkan identitas Tionghoa.

Fakta yang paling nyata bahwa media massa Tionghoa hanya diakses oleh minoritas Tionghoa dan generasi Tionghoa Totok yang jumlahnya terbatas, karenanya kurang mendapat apresiasi generasi muda Tionghoa, dengan demikian misi perjuangan meneguhkan identitas dan nilai-nilai tradisi leluhur Tionghoa tidak akan banyak memberikan hasil, disebabkan generasi muda Tionghoa telah mengalami proses detradisionalisasi yang amat cepat, lebih dari tiga atau empat generasi telah beradaptasi dini dengan penghidupan lokal, pengaruh pendidikan Nasional dan Internasional, generasi muda telah kehilangan bahasa dan tulisan-tulisan mandarin, generasi muda telah fasih berbahasa Indonesia dan Inggris, agama pun telah banyak beralih dari Buddha atau Kong Hu Cu menjadi Kristen, Katolik dan Islam, dan bentuk tradisi atau adat istiadat Tionghoa pun telah hilang dari identitas mereka. Apalagi media massa Tionghoa masih menonjolkan eksistansi ketionghoaan yang berkiblat pada Negeri tirai bambu tetapi sangat kurang menampilkan pembahasan konflik politik atau persoalan Sara yang lebih nyata dampaknya bagi kehidupan masyarakat Indonesia Tionghoa, kesemua ini disebabkan adanya pertimbangan aspek ekonomi menjadi bagian terpenting sumber pendapatan dan kepentingan pihak pemilik media massa. Pada tingkat tertentu media massa Tionghoa tetap tersandera oleh kecenderungan faktor politik, ekonomi dan sosial yang mempengaruhi produksi, sirkulasi, serta dampak faktor-faktor tadi terhadap masyarakat Indonesia Tionghoa.

Pada perkembangannya tidak sedikit pers Tionghoa gulung tikar karena tidak dikelola dengan cara profesional, kesulitan keuangan dan politik, termasuk jumlah pembaca yang sedikit, sirkulasi yang terbatas, ketergantungan pada iklan dan dukungan dari kepentingan bisnis serta kecenderungan untuk mendukung perselisihan politik antara Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok masih menjadi topik dari aliran lama yang telah usang. Yang benar-benar bertahan biasanya bersekutu dalam kebijakan redaksional berita-berita yang menonjolkan pribadi tokoh-tokoh konglomerat Tionghoa yang berperan sebagai pengusaha, sekaligus juga tokoh dalam berbagai perkumpulan atau organisasi Tionghoa baik dalam kegiatan sosial maupun representasi Individual.


KEBEBASAN WARGA TIONGHOA MENDIRIKAN ORGANISASI

Pada era Reformasi juga terlihat lebih membuka kesempatan baru bagi warga Tionghoa kembali mendirikan Perkumpulan, Yayasan, Paguyuban, Ikatan Alumni, Assosiasi dan berbagai bentuk organisasi social yang bercirikan berbagai daerah asal usul, marga-marga Tionghoa, Kesenian Tionghoa, Penulis dan Pengarang Sastra Tionghoa, Kaligrafi Tionghoa, Xiangqi (catur) Tionghoa, Pelukis Tionghoa dan berbagai akar budaya Tionghoa lainnya tumbuh berkembang pesat melampaui batas Wilayah dan Negara. Dalam era Reformasi yang terkait lebih demokratis, populis dan partisipatif benar-benar surga bagi masyarakat Tionghoa memanfaatkan momentum kebebasan mengekspresikan aneka budaya, kebebasan dalam berpolitik dengan muncul pendirian Partai Politik Tionghoa seperti Partai Reformasi Tionghoa dan Partai Bhineka Tunggal Ika dengan harapan untuk merangkul konstituen warga Tionghoa, namun pada akhirnya Partai Tionghoa tidak mendapat respons positif dari semua warga Tionghoa sehingga secara perlahan-lahan dan pasti semua Partai Politik yang berorientasi Tionghoa berakhir tanpa dukungan masyarakat secara luas. Namun demikian beberapa Partai Pilitik lainnya telah mengakomodir orang-orang Tionghoa dengan adanya keterwakilan beberapa orang Tionghoa di DPR.

Berbagai Perkumpulan atau organisasi Tionghoa mempublikasi diri baik terlibat aktif dalam komunitas maupun representasi individu melalui media massa, dan buku-buku peringatan ulang tahun yang dikeluarkan oleh pemimpin semua perkumpulan atau organisasi atau Hwe Koan Tionghoa. Setiap buku peringatan minimal terisi laporan yang memaparkan sejarah Perkumpulan atau Organisasi baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan, deskripsi berbagai kegiatan mutakhir, perkenalan para Dewan Pembina, Pengawas, Kehormatan dan Pengurus Perkumpulan atau Organisasi, berikut sebuah daftar yang dilengkapi dengan foto para pengurus dan anggota Perkumpulan atau Organisasi. Tetapi banyak diantara buku peringatan, buku biografi muncul melampaui hal tersebut, dengan menentukan sejumlah artikel tentang tanah asal usul orang Tionghoa, biografi para leluhur dari marga atau perkumpulan atau Organisasi yang termasyhur serta biografi para pengurus dan juga para anggota perkumpulan atau Organisasi. Walaupun buku-buku itu tidak dijual untuk umum, penerbitannya merupakan kebanggaan besar bagi setiap perkumpulan atau organisasi Tionghoa yang dengan caranya sendiri berusaha menonjolkan identitas Ketionghoaannya sekaligus melestarikan kebudayaan Tionghoa melalui berbagai aktivitas yang dipublikasikan oleh media massa Tionghoa.


ORIENTASI PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI TIONGHOA

Ketika kebebasan terbuka, mulailah terkuak keinginan satu persatu dari warga Tionghoa untuk menonjolkan identitasnya, dibarengi dengan pertumbuhan dan perkembangan pesat Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia, dilihat dari konteks politik sebelum dan sesudah Reformasi terkesan sangat menonjolkan euphoria kebebasan berserikat yang dijamin secara tegas dalam UUD 1945. Dan uniknya ada beragam Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa menumbuhkan respons yang berbeda dari generasi muda Tionghoa sendiri yang cenderung pasif terhadap kebebasan berserikat, sedangkan generasi tua dengan responsive memanfaatkan momentum kebebasan berserikat tersebut untuk mengorganisasi ide, pikiran dan pandangan sekaligus wujud kebebasan mengekspresikan budaya melalui Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang bergerak di berbagai bidang antara lain bidang politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan ; dan ada perkumpulan atau Organisasi lain bergerak di luar bidang-bidang tersebut, ternyata dari beragam Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa tersebut tidak secara spontan mendapat dukungan seluruh elemen bangsa ;

Belum ada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang secara konkrit dan nyata mewakili aspirasi dan kepentingan warga Tionghoa dalam tingkat Nasional baik di legislative maupun eksekutif, Adanya fakta semakin tingginya mobilitas warga Tionghoa dan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang cenderung vertikal, elitis dan eksklusif. Dibarengi dengan penuh heroik dan euphoria warga Tionghoa dan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa semakin menonjolkan budaya dan eksistensi ketionghoaannya seakan-akan yang paling unggul sebagai pelampiasan ketidakberdayaannya selama ini dikekang dan ditekan ; akibatnya masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa dengan pemandangan dinamika dan mobilitas warga Tionghoa tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang harus dicurigai atau diwaspadai ; bahkan ada kecenderungan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mulai dicurigai kegiatannya yang sangat berorientasi pada dukungan terhadap kebangkitan ekonomi RRT dengan kecenderungan sebagian warga Tionghoa melakukan kegiatan Investasi di Negeri tirai bambu ; melalui bendera Perkumpulan atau Organisasi telah hadir tamu-tamu saudara Tiongkok untuk berbagai kegiatan budaya, silaturrahmi, wisata dan lain-lain ; Berbagai bentuk kerjasama ekonomi dengan penandatanganan Memorandum Of Understanding (MOU), dari berpuluh-puluh nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani antara Investor Tiongkok dan Indonesia Tionghoa secara teoritis menampilkan sambutan luar biasa, tetapi pelaksanaannya hampir dapat dikatakan bahwa realisasi dan tindak lanjut dengan sebuah perjanjian investasi secara definitif sangat sedikit terjadi ; kemudian juga mengadakan kerjasama antar Lembaga Pendidikan dan kegiatan pertukaran Kebudayaan aktif ; melalui pertukaran dan kerjasama budaya, ekonomi dan pendidikan, dengan berbagai aktivitas kunjungan tamu dari Negara RRT ke Indonesia baik individual, pejabat, maupun Lembaga perkumpulan, termasuk berbagai organisasi sosial,organisasi perdagangan mendapat sambutan luar biasa dengan diringi pesta mewah dari hotel ke hotel berbintang lima dapat dianalogikan seperti pesta pertunangan sebagaimana dipublikasikan dalam berbagai Pers Tionghoa.

Di satu sisi ada kecenderungan sekelompok warga Tionghoa yang menonjolkan gaya hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya yang masih terjebak dalam kemiskinan struktural, termasuk semakin banyak Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang menonjolkan orientasinya ke Negeri Tiongkok, bersifat ekslusif dan elitis, tetapi pada sisi lain terdapat kecenderungan untuk meneruskan perjuangan menuntut persamaan hak Kewarganegaraan dengan membentuk, dan terlibat aktif dalam gerakan yang memperjuangkan persamaan hak Warga Negara baik secara individual maupun melalui arena organisasi civil society yang terlembaga.

Sungguh disayangkan bahwa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang berkembang saat ini merupakan potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia sejak Reformasi, ternyata masih mengembangkan pemikiran tradisional, konservatif, komunalis, dan sukuisme dengan orientasi Ketionghoaan, yang sangat menonjol untuk memelihara pandangan yang lebih tradisional, bahkan masih bernostalgia dengan masa lalu ; ada juga yang berjuang sendiri mempertahankan warisan budaya Ketionghoaan yang berorientasi tradisional, dan menonjolkan simbol-simbol kebudayaan secara ekstrim, semakin menguat fanatisme terhadap kelompoknya bukan Ketionghoaan yang berorientasi Nasional. Sebaliknya di kalangan generasi muda Tionghoa telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya Tionghoa tradisional menjadi Ketionghoaan yang berorientasi Nasional, sehingga perkembangan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang eksis saat ini banyak dipelopori generasi tua ternyata dalam perjalanannya kurang mendapat respons positif dari generasi muda Tionghoa di Indonesia pada umumnya sudah menjadi peranakan dan kebarat-baratan, dapat dikatakan pola pikir generasi muda Tionghoa dipengaruhi oleh pendidikan Nasional maupun Pendidikan Luar Negeri yang modern dan secara faktual tidak lagi menguasai adat istiadat tradisional Tionghoa.

Bahkan banyak generasi muda yang lahir sudah beberapa generasi hidup berasimilasi maupun berintegrasi dengan masyarakat, mereka juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, dalam kebudayaan pun telah berakulturasi dengan kebudayaan setempat serta kebudayaan Indonesia ; Di samping semua hal tersebut, tidak luput pengaruh dari kebijakan orde baru yang anti kebudayaan Tionghoa turut memberi sumbangan perubahan nilai-nilai budaya Tionghoa yang cenderung mengalami proses detradisionalisasi.

Jika diperhatikan, Reformasi selama 10 tahun, ada juga yang menghasilkan sejumlah hal positif yaitu munculnya berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang melakukan kegiatan karitatif (bantuan amal langsung) kepada masyarakat miskin yang membutuhkan seperti pembagian sembako, bakti sosial seperti pengobatan gratis, membantu bencana alam baik bersifat Lokal maupun Nasional ; Suatu kegiatan yang bersifat sporadis, dan dilangsungkan minimal satu tahun dua kali perkumpulan atau organisasi Tionghoa mengadakan ritual tahunan kegiatan karitatif (bantuan amal langsung) kepada seluruh lapisan masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis ; fungsi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa hanya seolah-oleh seperti badan amal yang menyediakan jasa atau bantuan langsung kepada mereka yang membutuhkan tanpa publikasi dari pers media Nasional seperti Kompas, Media Indonesia atau Suara Pembaharuan, jelas merupakan kegiatan amal yang tidak menjawab persoalan dan menyelesaikan masalah bangsa Indonesia secara menyeluruh.

Ada kesan bagi masyarakat lain bahwa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa ternyata berasal dari konglomerat Indonesia Tionghoa kaya raya yang memamerkan kekayaan melalui aksi karitatif tersebut, muncul kapitalis baru yang mau tak mau menimbulkan warna baru yang mempertajam perbedaan sosial. Dalam kondisi kegiatan bantuan amal langsung (karitatif) yang semakin hari semakin berkembang, tentunya keadaan seperti itu akan memunculkan persoalan baru dan stigma baru terhadap Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa sebagai wadah pameran kekayaan tipe baru dan sebagai sarana pertunjukan kekuatan ekonomi dengan menggunakan bendera bantuan amal langsung (karitatif) sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan terhadap masyarakat bawah yang tidak mampu, tentunya kegiatan amal bantuan langsung (karitatif) berorientasi jangka pendek, hanya berperan sebagai mata rantai baru dalam rantai persoalan kecemburuan sosial bentuk baru yang dipamerkan; sehingga bantuan amal langsung (karitatif) menjadi mubazir karena tidak menyelesaikan hubungan yang tidak sehat antara Indonesia Tionghoa dan masyarakat lainnya, bahkan prasangka sosial terhadap Indonesia Tionghoa adalah kaya menjadi semakin menguat kembali. Hal ini sangat mencemaskan dan membahayakan kemungkinan menyalakan api rasialisme anti Tionghoa dilapisan menengah miskin dan kelas paling bawah; kedudukan social ekonomi Indonesia Tionghoa bisa jadi akan kembali mangalami tragedy kekerasan kolektif. Sebagaimana terjadi dari masa ke masa ; mungkin Indonesia Tionghoa belum kapok menyimpan banyak luka dan trauma korban kekerasan kolektif.

Sedangkan kegiatan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dalam bentuk advokasi transformative (pemberdayaan dalam arti luas) masih lemah, hanya ada sedikit yang melakukan kegiatan bersifat transformative dengan mendirikan sekolah seperti pendiri sekolah PATHUA di Bumi Serpong Damai dan Universitas MA CHUNG di kota Malang sebagai awal langkah beberapa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa menekuni masalah pendidikan dan mendukung berbagai program bea siswa yang berkembang sesuai perubahan keadaan dan kebutuhan Negeri ini.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa kurang berusaha berperan efektif dan relevan di dunia yang berubah dengan cepat. Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa kurang memiliki akar budaya Filantropi yaitu suatu usaha aktif untuk memajukan kesejahteraan manusia seperti Organisasi Filantropi Amerika, Inggris dan Negara Eropa lainnya.

Demikian pula dengan peran Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus mampu mendorong Pemerintah untuk bersama-sama mentransformasikan peranannya yang mendorong semangat aktivitas bagi masyarakat dalam perbaikan kesempatan dan mutu hidup bagi kelompok miskin serta memberdayakan masyarakat melalui manajemen Nirlaba secara sukarela dan mandiri.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus membingkai diri menjadi satu kepentingan ideologi sosial dan harus secara bersama-sama merumuskan kembali garis perjuangan serta menetapkan tujuan atau format baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan mutakhir Indonesia. Dengan demikian sebaiknya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mengurangi atau tidak lagi saling berlomba-lomba mengadakan pesta Nasional dan Internasional dengan tema pertemuan-pertemuan/kongres perkumpulan atau organisasi Tionghoa sedunia adalah positif dalam rangka mengundang dan mengembangkan Investasi atau Periwisata Nasional dengan tidak melupakan kepentingan masyarakat akar rumput atau kepentingan Nasional, Bangsa dan Negara.


DINAMIKA PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI TIONGHOA

Pada era sebelum dan setelah Kemerdekaan kita saksikan bahwa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mengembangkan ideologi sosial dengan menyelenggarakan kegiatan sosial, pendidikan dan pelayanan kesehatan ; Hubungan Pribadi sesama anggota dan kepemimpinan kolektif Perkumpulan atau Organisasi sosial tetap terjaga baik, penuh semangat swadaya dan swamandiri serta solidaritas yang tinggi dalam menjalankan kegiatan Organisasi, jika sesama anggota ada perselisihan dan perbedaan pemikiran tetap terjaga hubungan baik sesama anggota. Sementara sekarang Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa hampir dapat dikatakan tidak mempunyai identitas ideologi sosial yang jelas, karena terdapat kecenderungan menggunakan Perkumpulan atau Organisasi untuk mempresentasikan individu, nama dan kekuasaan dan kuatnya sentimen primordidisme dalam setiap organisasi, keadaan ini mencemaskan dan tidak produktif karena menimbulkan penilaian Negatif masyarakat, dan akan menciptakan benih-benih konflik sekaligus merendahkan kualitas dan wibawa Perkumpulan atau Organisasi. Salah satu dinamika pertumbuhan dan perkembangan gerakan Perkumpulan dan Organisasi Tionghoa yang terjadi saat ini adalah munculnya Friksi atau konflik Interen dan eksteren serta terjadi persaingan tidak sehat antara kelompok dan interen organisasi yang semakin mengental. Friksi dan benih-benih konflik Interen antar personal/kelompok dan organisasi perkumpulan dapat menciptakan atmosfer kerja yang buruk dan penuh ketegangan, sehingga melupakan arti visi dan misi Perkumpulan atau Organisasi yang dipimpin. Perselisihan yang berlarut-larut dan tidak diselesaikan dapat menurunkan kredibilitas, produktivitas, moral serta aktivitas Perkumpulan/Organisasi tersebut.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa masih belum bisa membuat jaringan yang sehat dan kuat. Secara Internal masih terjebak pada persoalan personal antar pemimpin struktur organisasi dan para pemimpin struktur organisasi belum juga jernih dalam memisahkan antara perjuangan yang lebih besar dalam pelayanan publik dengan persoalan personal. Kekuatan generasi muda tidak dibangun dan partisipasi pun tidak ada. Tumbuh berkembangnya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa membanggakan tetapi tanpa suatu manajemen dan kebijakan public yang jelas serta sarat masalah. Itulah paradoks Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa Indonesia. Sudah semestinya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa Indonesia mengembangkan semangat integeral dan bersinergi untuk membangun Bangsa dan Negara, dengan semangat memperkuat nilai-nilai demokratis, meningkatkan taraf hidup rakyat, keadilan sosial, dan toleransi terhadap keragaman ; akan tetapi yang kita saksikan justru Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mengembangkan semangat dan sentiment Primordial ekslusif dan elitis yang jika tidak dievaluasi secara terkendali akan menimbulkan potensi desintegratif. Salah satu tujuan gerakan Reformasi adalah menciptakan kehidupan berbangsa yang lebih demokratis. Dan dapat menjadi peluang bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa untuk bergerak maju menyelesaikan persoalan diskriminasi, membawa perubahan dan memperjuangkan hak-hak sipil warga Tionghoa. Namun yang terjadi dalam berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa justru berkembang budaya tidak demokratis, mungkin harus diakui banyak kendala budaya Tionghoa yang kurang akrab dengan paham demokrasi. Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa hendaknya mulai membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kendala internal dalam kelompok atau anggota mereka masing-masing.


HAMBATAN PROSES REGENERASI DALAM PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI TIONGHOA

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang berkembang saat ini sangat kurang memberi kesempatan pada generasi muda untuk duduk pada jabatan-jabatan yang strategis guna kaderisasi, ternyata tidak tercermin dalam struktur organisasi. Kalau pun ada beberapa orang generasi muda tampil dalam struktur organisasi hanya bersifat promotif, dalam faktual kehidupan organisasi boleh dikatakan generasi muda ternyata tidak berdaya sama sekali dalam dominasi dan tekanan psikologi budaya para sesepuh para pendiri yang konservatif dan bilamana ada gagasan generasi muda kepada generasi sesepuh pendiri dalam prakteknya tidak berjalan karena berebut kepentingan atau performance nama besar sesepuh pendiri yang menonjol, sering terjadi sesepuh pendiri sangat tidak merespons secara positif gagasan sebagus apapun, apalagi kepemimpinan yang tertutup dan one man show, memiliki kekayaan sebagai ukuran (parameter) keberhasilan dengan perbandingan bahwa generasi muda memiliki tingkat pendidikan akademis terbaik masih kurang mampu berhasil dibandingkan dengan sesepuh pendiri, dimulai juga terjadi sikap para sesepuh pendiri yang senantiasa bersikap otoriter sehingga dalam kondisi tersebut memberi efek negatif sekaligus menciptakan situasi tidak kondusif bagi generasi muda untuk bergabung atau masuk dalam Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, karenanya banyak Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa kurang maju dan tidak memiliki ideology yang jelas, hal mana menciptakan kebuntuan regenerasi.

Semestinya pemimpin Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus berani mengubah haluan dengan membuka diri bagi hadirnya generasi muda untuk berperan dan berpatisipasi ; yang terjadi justru banyak generasi muda yang dipaksakan orang tuanya untuk hadir dalam setiap momen pertemuan organisasi tanpa kesungguhan yang tulus dari generasi muda untuk mengikuti jejak generasi orang tuanya yang telah berhasil sukses tampil dalam panggung kegiatan-kegiatan Perkumpulan atau Organisasi. Hingga saat ini banyak pemimpin Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang muncul justru orang-orang yang itu-itu saja yang sibuk dengan agenda pribadi pemimpinnya, bukan agenda pelayanan kepentingan umum (Public Services). Sangat sedikit Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang bisa diharapkan hadir menjadi tempat untuk menyalurkan aspirasi dan gerakan perjuangan untuk menangani kepentingan umum, meningkatkan karya manusia, mengurangi ketidakadilan dan kemiskinan masyarakat Indonesia atau setidak-tidaknya kepentingan saudara-saudara masyarakat Tionghoa yang terpinggirkan, miskin atau yang tidak berdaya karena ketidakadilan dan lain-lain.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dalam banyak hal kurang memberi kesempatan pada generasi muda untuk berpatisipasi dan kurang memberi ruang otonomi bagi generasi muda menjadi pemimpin dalam struktur organisasi yang penting, sehingga sulit diharapkan terjadinya pertumbuhan dan kesinambungan kaderisasi jangka panjang berjalan dengan baik. Sudah sewajarnya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus menjadi wahana percetakan kader-kader dan kader pemimpin. Aset terbesar bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa adalah Sumber Daya Manusia (SDM), tanpa SDM yang andal tidak akan berarti apa-apa bagi kelanjutan regenerasi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, Jadi pengelolaan SDM menjadi sangat penting untuk regenerasi dan perkembangan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dimasa depan. Fakta yang terjadi pada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa saat ini masih kekurangan sumber daya manusia atau kaderisasi ; dan ini artinya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa tidak berhasil mendidik dan membuat kader ;

Selain itu berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa masih baru mulai berkembang dan didominasi oleh generasi tua yang berusia rata-rata di atas 50 tahun yang telah mapan dan konservatif, dengan pemimpin yang muncul adalah pemimpin yang prematur dan yang itu-itu lagi, bahkan mereka kurang memahami masalah kepentingan anggota, masyarakat dan bangsa Indonesia ; sebaliknya pemimpin yang ada lebih fasih dengan solidaritas kesamaan daerah asal Tiongkok, kesamaan marga dan suku Tionghoanya, kesamaan alumni, agama dan kesamaan budaya kolektif yang menyatukan mereka atau kadang-kadang malah terjadi konflik kepentingan atau friksi interen sesama mereka, yang kemudian berkembang luas di berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa terjadi rumor, lalu terbentuk kelompok-kelompok yang pro dan kontra terhadap pemimpin tersebut. Demikian juga persaingan tidak sehat pun tidak terhindarkan antara sesama pemimpin. Akibat lain dari kondisi tersebut membuat proses kaderisasi menjadi terhambat dan tidak memberi keteladanan Nasional.

Memang setiap Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa baik yang besar maupun yang kecil pada dasarnya dibangun oleh relasi antar manusia yang kompleks, manusia yang tak kuasa menguasai syahwat untuk selalu menjadi raja yang berkuasa (Ketua Abadi), manusia yang tak kuasa mengendalikan puteranya menjadi penerus tahtanya, manusia yang terlalu angkuh untuk menghargai karya atau ide generasi muda, manusia yang tampak shaleh tetapi rakus akan kekuasaan dalam struktur organisasi ; manusia yang serakah dan masih tergoda menggunakan kursi kepemimpinannya untuk kepentingan bisnis globalnya. Maka setiap pemimpin organisasi harus menjawab persoalan bersama, menghindari persaingan tidak sehat, menyelesaikan konflik atau friksi antar pribadi atau kelompok agar tidak bertambah parah, agar setiap organisasi dapat berkembang dengan sehat dan memenuhi sasaran yang mengikat semua pihak dan bisa ikut memberi kontribusi yang berharga bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dan membantu Pemerintah dalam memerangi kemiskinan, meningkatkan taraf hidup rakyat, mengurangi ketidakadilan, mendukung kerjasama Internasional dan meningkatkan karya manusia Indonesia, kebutuhan besar bangsa untuk meningkatkan sumber daya manusia.

Banyak Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa gagal melahirkan kader-kader atau kader calon pemimpin. Proses kaderisasi pada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa cenderung membuat kader berkualitas tidak berdaya disebabkan oleh faktor tidak pengalaman, kekayaan modal (tidak mapan), terlalu diatur, dipaksakan, tidak responsif dan sangat dipengaruhi oleh para generasi tua yang otoriter, konservatif, kurang terbuka sehingga hubungan tidak selalu berjalan baik, termasuk pola pikir, pola sikap, pola kerja, rasa percaya diri, menjadi kendala tersendiri. Akibatnya masih banyak kader yang berkualitas dan profesional enggan terlibat dalam kegiatan-kegiatan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, tidak sedikit para generasi muda yang merasa gamang untuk ikut langsung bergabung karena adanya jarak pandangan yang berbeda, orientasi kebutuhan yang berbeda, gaya kepemimpinan yang berbeda, benturan kepentingan dan budaya yang berbeda ; hal ini jelas kurang menguntungkan bagi upaya kaderisasi. Di luar kancah Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa bagi generasi muda ; memang masih banyak bidang lain yang dapat ditekuni sebagai karir gerakan bagi generasi muda ; banyak yang menilai bahwa pada saat ini penghargaan pada nilai-nilai budaya, solidaritas sosial, kekeluargaan, tanggung jawab social, serta jiwa kebangsaaan telah semakin memudar. Inilah tantangan bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa. Kaderisasi pada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dapat dikatakan belum menyentuh aspek kualitas sumber daya manusia untuk diproyeksikan menjadi pemimpin di berbagai level, baik tingkat Nasional maupun Internasional. Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa masih menempatkan faktor kemapanan, latar belakang dan pengalaman generasi muda sebagai parameter ; tidak menempatkan potensi generasi muda sebagai sasaran rekrutmen kegiatan kaderisasi. Untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan perubahan radikal; Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus membuka diri untuk merekrut generasi muda yang potensial dan profesional minus kemapanan untuk masuk dalam sistem kaderisasi dalam struktur organisasi.


PENUTUP

Akhirnya warga Tionghoa yang diakui sebagai salah satu komponen bangsa Indonesia dengan semakin menguatnya ketionghoaan dalam manifestasi budaya Tionghoa yaitu Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, mass media Tionghoa, Sekolah/Pendidikan Tionghoa dan segala bentuk budaya Tionghoa telah eksis dalam Negara Kesatuan RI. Selanjutnya dibutuhkan keberanian warga Tionghoa dan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa untuk menggunakan hak-hak dan kewajiban sebagai warga Negara Indonesia sebaik-baiknya, terukur dan tidak lupa diri dalam membangun prikehidupan kebangsaan yang berkesetaraan bagi semua orang.

Menguatnya eksistensi masyarakat Tionghoa di bumi Nusantara sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan instrument dan mekanisme hukum dalam era reformasi yang mampu mengakomodasikan kebutuhan eksistensial warga Tionghoa, ternyata tidak secara langsung dapat menjamin terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Terjadinya euphoria dan sedikit arogansi pesta budaya Tionghoa dibumi Nusantara dalam berbagai konteks akan menimbulkan banyak persoalan berupa sumber konflik dan komoditas poliik.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa diperlukan komitmen yang sangat tinggi untuk membangun ideologi baru yang bukan hanya sesuai dengan kebutuhan bangsa dan budaya generasi muda, namun juga selaras dengan perkembangan global yang makin tanpa batas. Ideologi baru yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dan budaya generasi muda agar dimasa depan akan melahirkan generasi muda yang mampu beradaptasi dengan pola pikir, pola sikap dan pola kerja yang baru yang tidak berdasarkan pada hirarki sosial dan primordial sebagai parameter ; Dibutuhkan dorongan ketulusan dan kesukarelaan, bahkan pengorbanan dengan konsep kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan Nasional, Bangsa dan Negara serta masa depan, dengan komitmen dapat melihat dan bermimpi, merubah, serta menggerakan generasi muda kearah tujuan yang membela, mewakili dan memperjuangkan warga Tionghoa maupun Bangsa dan Negara.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa membutuhkan suatu pola kepemimpinan yang kuat dan mampu mengerahkan generasi muda untuk bersama-sama berjuang mencapai cita-cita yang mampu meneruskan perjuangan baru yang diarahkan untuk menumbuhkan dan memperkuat rasa kebangsaan dan mampu mengejar ketertinggalan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta memberikan makna dan memanfaatkannya bagi kehidupan yang lebih adil dan sejahtera, arif, cerdas dalam menangkap peluang, mampu memanfaatkan momentum transformasi global dan reformasi nasional dengan kemandirian, kemodernan dan kemampuan IPTEK, Politik, Ekonomi, dan budaya satu sama lain dalam pandangan yang seimbang.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus menjadi tenaga penggerak bagi pembangunan bangsa, menciptakan suatu lingkungan yang sehat dalam memperkuat hubungan dengan lintas etnis budaya, dan berupaya menghilangkan stigma negatif yang melekat pada Indonesia Tionghoa, bertindak kongkret dan berusaha memperbaiki pencitraan yang keliru terhadap Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa saat ini sebagai manifestasi munculnya wajah baru konglomerat Indonesia Tionghoa kaya; padahal perjuangan masih panjang dengan napas kita juga mesti panjang untuk berupaya menghilangkan diskriminasi dan memulihkan hak warga Tionghoa yang sama dihadapan hukum, sosial, politik, ekonomi, tidak dapat lagi menjadi sekedar tindakan sporadis, melainkan harus merupakan gerakan bersama ; untuk itu dibutuhkan usaha perjuangan yang sinergis dan konsisten dari warga Tionghoa yang peduli. Hanya dengan perjuangan yang nyata untuk menghilangkan sumber diskriminasi atau berbagai bentuk diskriminasi yang telah demikian lama berlangsung dibumi Nusantara ini bisa dihilangkan. Kemudian Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa perlu mendorong generasi muda Tionghoa untuk bisa berdiaspora dengan masuk ke dalam berbagai Lembaga Nasional, partai politik dan segala profesi sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka.