Sabtu, 28 Maret 2009

Asal Usul Chen Beng


Dahulu kala, ribuan tahun yang lalu,..
di suatu desa di mainland china, ada seorang anak dan seorang ibu.
pekerjaan si anak ini adalah seorang petani,...
tiap siang, ibu-nya selalu membawakan makan siang kepada anak lelakinya ini.
tiap kali membawa makan siang selalu di marahin sama anaknya, dan selalu saja ada alasan untuk memarahi ibunya.

Suatu ketika,.. ibunya terlambat menghantarkan makanan kepadanya, dan membuat dia kelaparan,...
setelah ibunya sampai di sawah,.. anaknya berlari samperin ibunya,..mendorong dan menamparnya serta memakinya dengan ucapan yang sangat hina, saking hinanya untuk diceritakan kembali,...
Ibunya hanya bisa menangis dan memohon ampun,..

Keesokan harinya,... si anak itu pagi pagi ke sawah melewati sebuah tanah lapang,..
disana dia melihat seekor kambing yang sedang menyusui anaknya.
dia melihat, anak kambing saat nete-in susu ibunya sambil berlutut.
(coba anda perhatikan,..katanya semua kambing gitu,..saya sih belum pernah lihat,..kambing nete susu ibunya berlutut atau bukan).
dia menjadi sangat sedih karna selama ini dia begitu keterlaluan terhadap ibunya.

Ketika siang dan waktu makan siang tiba,..
sang ibu keliatan dari kejauhan,...
si anak berlari sekencang kencangnya untuk menjemput ibunya,...
maksud dia adalah,... membantu ibunya mengangkat bekal untuknya karna dia sudah sadar.
Akan tetapi,..sang ibu tidak berpikir demikian,. sang ibu sudah trauma.
ketika sang ibu melihat anaknya lari menghampirinya, sang ibu sangat ketakutan,... bekal nasi pun dibuang ke tanah,..dan dia berlari dan berteriak,... saya mending mati daripada disiksa oleh anak kita sendiri.
akhirnya sang ibu pun melompat ke jurang,......

Masalah ini menjadi heboh di desa mereka,...
cerita ini pun tersebar seantero desa,....
dan si anak pun merasa tidak pernah membalas budi atau sayang kepada ibunya ketika ibunya masih hidup,..dan tidak akan pernah lagi punya kesempatan.
dan untuk menebusnya,...saat ibunya sudah meninggalpun dia bersumpah akan membalasnya... begitu juga dengan penduduk desa dimana dia berasal.

Nah,...orang sekarang menamakan chen beng,..
dalam pelaksanaannya,... biasanya mereka membakar duit, rumah, serta barang barang yang menjadi keinginan orang tua yang pada saat hidup tidak terpenuhi.
tentu saja yang dibakar itu bukan duit atau rumah beneran, hanya simbolik saja.


SELAMAT MENJALANKAN CHEN BENG
5 APRIL


IP-PSMTI DKI JAKARTA

SOE HOK GIE


Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.

Senin, 09 Maret 2009

REPUBLIK LANFANG DI KALIMANTAN BARAT


Republik Lanfang (Hanzi tradisional: 蘭芳共和國, Hanyu Pinyin: Lánfāng Gònghéguó) adalah sebuah negara Hakka di Kalimantan Barat, Indonesia yang didirikan oleh Low Fang Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) pada tahun 1777, sampai akhirnya dihancurkan oleh Belanda di tahun 1884.

Ibukota Ceh Wan Li (Mandor)
Tahun didirikan 1777
Tahun diruntuhkan 1884
Presiden (pertama) Low Lan Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯)
Wilayah sekarang Kalimantan Barat










Sejarah Kongsi

Kongsi adalah perkumpulan pertambangan Cina di wilayah barat Pulau Borneo / Kalimantan. Pertambangan-pertambangan yang dikerjakan oleh orang-orang Cina ini adalah tambang-tambang emas yang tersebar di pesisir utara Wilayah Kalimantan sebelah barat ini. Sebagian besar tambang-tambang emas itu berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas itu pertama kali datang ke wilayah Kalimantan Barat ini adalah pada tahun 1740 M yang didatangkan oleh Raja Panembahan Mempawah yaitu Opu Daeng Menambon. Kemudian pada sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan Abubakar Kamaluddin juga mendatangkan orang-orang Cina untuk pertama kali wilayah Kesultanan Sambas untuk mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara. Dalam hal ini status orang-orang Cina ini adalah pekerja-pekerja tambang yang bekerja pada Sultan Sambas. Sebagian hasil tambang itu disisihkan untuk upah para pekerja tambang emas itu dan sebagian lagi adalah merupakan penghasilan bagi Kesultanan Sambas sebagai pemilik negeri.

Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan pertambangan emas di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas, pada sekitar tahun 1764 M terjadi gelombang besar-besaran orang-orang Cina yang didatangkan oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II ke wilayah Kesultanan Sambas menyusul begitu banyaknya ditemukan tambang-tambang emas baru di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas ini.

Pada sekitar tahun 1767 M jumlah orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau Kalimantan ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas sudah mencapai hingga belasan ribu orang.

Karena jumlah orang-orang Cina yang semakin besar ini dan mereka berkelompok-kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing, maka pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok ini kemudian mendirikan semacam perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut dengan nama Kongsi. Kongsi-kongsi ini (yang saat itu berjumlah sekitar 8 Kongsi) menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun Kongsi-kongsi itu diberi keleluasaan secara terbatas oleh Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri seperti pengangkatan pemimpin Kongsi dan pengaturan kegiatan pertambangan masing-masing. Sedangkan mengenai hasil tambang emas, disepakati bahwa Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin menyisihkan sebagian hasil tambang emas mereka untuk diserahkan kepada Sultan Sambas bagi penghasilan Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagi hasil dari Kongsi-Kongsi Cina itu sebanyak 1 kg emas murni setiap bulannya, belum termasuk penerimaan oleh Pangeran-Pangeran penting di Kesultanan Sambas dari Kongsi-kongsi itu.

Pada tahun 1770 M mulai timbul semacam pembangkangan dari kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas ini terhadap Sultan Sambas. Pembakangan ini berupa penolakan mereka untuk memberikan sebagian hasil tambang emas kepada Sultan Sambas yaitu sebesar 1 kg emas murni setiap bulannya. Para kongsi itu hanya bersedia memberikan bagi hasil tambang emas sebesar setengah kg atau separuh dari kesepakatan sebelumnya padahal saat itu kegiatan pertambangan emas di wilayah Kesultanan Sambas ini semakin berkembang.

Hal ini kemudian membuat Sultan Sambas marah apalagi kemudian terjadi pembunuhan oleh orang-orang Cina Kongsi terhadap petugas-petugas pengawas Kesultanan Sambas (yang adalah orang-orang Dayak) yang ditugaskan oleh Sultan Sambas untuk mengawasi kegiatan tambang emas Kongsi itu, sehingga kemudian Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Umar Aqamaddin II mengirimkan pasukan Kesultanan Sambas menuju daerah kongsi-kongsi yang melakukan makar dan pembakangan itu. Setelah gerakan pasukan Kesultanan Sambas telah berlangsung selama sekitar 8 hari dan belum sempat terjadi pertempuran besar antara pasukan Kesultanan Sambas dengan pihak kongsi, kemudian pihak kongsi itu ketakutan hingga kemudian mengakui kesalahannya dan bersedia untuk tetap membayar bagi hasil tambang emas kepada Sultan Sambas sesuai dengan kesepakatan sebelumnya yaitu sebesar 1 kg emas setiap bulannya.

Semakin lama jumlah Kongsi yang ada semakin bertambah dan pada sekitar tahun 1770 M, telah ada sekitar 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas dan saat itu terdapat 2 Kongsi yang terbesar yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong.

Pada tahun 1774 M terjadi pertempuran antara kedua buah kongsi terbesar di wilayah Kesultanan Sambas yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Kongsi Thai Kong kemudian berhasil mengalahkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong bubar.

Kedatangan Lo Fang Pak

Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah Kesultanan Sambas) pada usia sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.

Kedatangan orang-orang Cina dari daratan Cina ini adalah atas permintaan sultan-sultan Melayu saat itu yang mendatangkan para pekerja tambang emas dari daratan Cina yaitu untuk melakukan kerja-kerja tambang yang memang keahlian dan kesulitan pekerjaan tambang saat itu hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang Cina. Permintaan pekerja tambang dari Cina daratan saat itu merupakan satu trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai oleh kerajaan Melayu yang ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu di pesisir utara dan timur Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin I) baru kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir wilayah Pulau Kalimantan bagian barat.

Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan yang pertama mendatangkan pekerja tambang dari daratan Cina adalah Panembahan Mempawah yang waktu Rajanya adalah Opu Daeng Menambon yaitu pada sekitar tahun 1740 M. Kebijakan Panembahan Mempawah ini kemungkinan atas saran dari Adik Opu Daeng Menambon yaitu Opu Daeng Celak yang saat itu sedang menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu mendatangkan pekerja dari Cina daratan untuk tambang timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik. Namun demikian saat itu Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang Cina untuk pekerja tambang (emas) pertama kali adalah berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar mencari emas) yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.

Setelah itu didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina yaitu di daerah Mandor yang saat itu merupakan wilayah Panembahan Mempawah. Setelah beberapa tahun mengerjakan tambang emas di Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian mengindikasikan satu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir banyak mengandung emas. Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari Kesultanan Sambas yaitu daerah yang bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas mengenai potensi emas di Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas kemudian mengijinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang Cina dengan syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang dari Cina ini dan sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Maka kemudian dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750 M yaitu tambang emas kedua setelah di Mandor.

Sungguh di luar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas ini sangat melimpah ruah. Setelah Montraduk berturut-turut dibuka lagi tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat memuaskan. Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-orang China semakin melimpah ke wilayah Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga, sekampung halaman atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar tahun 1770 M telah ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di wilayah Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas itu adalah berada di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.

Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka masyarakat Hakka dari China yang bernama Lo Fong Pak ke daerah Kongsi yang ada di Wilayah Kesultanan Sambas.

Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di Mandor menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan diantara mereka dari ancaman pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara Kongsi Thai Kong dan Lan Fong di tahun 1774 M yang lalu. Salah satu dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo Fong Pak dengan Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.

Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasi Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi diwilayah Kesultanan Sambas tetapi adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).

Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah dimana 12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur pertambangan serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah otonomi distrik).

Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan orang-orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah Mandor saat itu juga terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu, berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas yang seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek).

Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah Muara Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada tahun 1771 M) yang terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak. Berdirinya Kesultanan Pontianak di Muara Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari Raja Kerajaan Landak karena secara historis wilayah muara Sungai Landak adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak. Namun VOC Belanda karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak mengendurkan protes kerasnya.

Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit banyak membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada aktifitas di muara sungai itu sehingga inilah salah satu yang kemudian membuat Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan Mempawah padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan Mempawah.

Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Untuk mendukung serangan ini Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong untuk ikut serta dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Menghadapi serangan ini, Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.

Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak menjadi semakin kuat dan dekat sehingga kemudian Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) diberikan kewenangan yang lebih luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.

Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang yang di interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah "Republik Lan Fang" padahal didalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata Republik. Disamping itu kata Republik adalah untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat walaupun mendapat status otonomi khusus namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan merupakan suatu negara merdeka. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik Lan Fang" itu tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.

Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum untuk menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin "Ta Tang Chung Chang" atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.

Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin "Lan Fang Ta Tong Chi". Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.

Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).

Kejatuhan Lan Fong Kongsi

Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya Daerah Otonomi Khusus tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya Kongsi Lan Fong tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua Kongsi kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani kesepakatan kerjasama dengan Belanda. Penandatanganan kesepakatan tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong dalam pengaruh Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan Kongsi Lan Fang. Kongsi Lan Fang kemudian kehilangan otonomi dan beralih dari daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong.

Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang berpusat di Montraduk menolak diperintah oleh Belanda, sehingga Kongsi Tahi Kong diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Thai Kong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun. Perlawan Kongsi Thai Kong terhadap Belanda ini juga kemudian melibatkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong kemudian juga diserang Belanda dan ditaklukkan Belanda, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), Ketua Kongsi Lan Fong yang terakhir. Sebagian warga Kongsi Lan Fong kemudian mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi pemimpin boneka.

Daftar Ketua Kongsi Lanfang

Daftar Ketua Kongsi yang pernah memimpin Daerah Otonomi Kongsi Lanfang (1777 - 1793 ) dan Daerah Otonomi Khusus Kongsi Lanfang dari tahun 1793 - 1884.

Nama Ketua Kongsi Periode Keterangan
Lo Fangpak 1777-1795 Pendiri Kongsi Lanfang di Mandor pada tahun 1777
Kong Meupak 1795-1799 Perang dengan Panembahan Mempawah
Jak Sipak 1799-1803 Konflik dengan orang Dayak dari Landak
Kong Meupak 1803-1811
Sung Chiappak 1811-1823 Ekspansi tambang di Landak
Liu Thoinyi 1823-1837 Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda
Ku Liukpak 1837-1842 Konflik dengan Panembahan Landak dan kemerosotan kongsi
Chia Kuifong 1842-1843
Yap Thinfui 1843-1845
Liu Konsin 1845-1848 Pertempuran dengan orang Dayak dari Landak
Liu Asin 1848-1876 Ekspansi tambang ke kawasan Landak
Liu Liongkon 1876-1880
Liu Asin 1880-1884 Kejatuhan Lanfang Kongsi pada tahun 1884

PANITIA PEMBANGUNAN: TAMAN BUDAYA TIONGHOA INDONESIA



PANITIA PEMBANGUNAN:
TAMAN BUDAYA TIONGHOA INDONESIA
印尼华人文化历史博物馆委员会

Komplek Puri Delta Mas Blok H – 8
Jl. Bandengan Selatan No. 43 – Jakarta Utara 14450
Telp : (021) 66692481 – 6696553 – 6695652
Fax : 66692274

Direksi Kit Panitia Pembangunan
Museum Budaya Tionghoa Indonesia
Taman Mini Indonesia Indah (sebelah Museum Prangko)


SEMUA SUMBANGAN HANYA MELALUI BANK
印华百家姓协会银行账户



BCA CABANG ASEMKA JAKARTA
REKENING NO. 001 – 304 8808
ATAS NAMA :
PAGUYUBAN SOSIAL MARGA TIONGHOA INDONESIA


TAMAN INI HARUS MENJADI KENYATAAN MERUPAKAN VISUALISASI NYATA POSISI ETNIS TIONGHOA SEBAGAI KOMPONEN KELUARGA BESAR BANGSA INDONESIA

MOHON PARTISIPASI BAPAK / IBU BERUPA DANA UNTUK MELANJUTKAN PEMBANGUNAN INI, BERUPA BARANG – BARANG , FOTO – FOTO ATAU BUKU – BUKU PERJALANAN SEJARAH ETNIS TIONGHOA KE NUSANTARA UNTUK MENGISI TAMAN TERSEBUT

Taman Budaya Tionghoa-TMII












































Minggu, 01 Maret 2009

LASKAR CHINA DAN PRIBUMI MELAWAN VOC 1740 -1743

Pada bulan Oktober 1740 terjadi kerusuhan rasialis di Batavia. Sekitar 10.000 orang China dibantai oleh VOC. Alasan Kompeni melakukan hal tersebut karena orang orang China dianggap telah membangkang untuk membayar berbagai pungutan yang mencekik. Di saat ribuan mayat bergelimpangan di sungai sepanjang Kali Besar dan rumah rumah China hangus menjadi abu, di suatu pabrik gula yang terletak di Gandaria terlihat suatu kerumunan massa. Mereka bersenjata seadanya namun mempunyai semangat yang tinggi . Pimpinan gerombolan bersenjata tersebut oleh sumber dan arsip Kompeni dikenal dengan nama Khe Panjang. Sebutan ” Khe ” menunjukkan bahwa orang tersebut belum lama tiba dari Tiongkok.

Dari Gandaria pasukan bergerak ke Tanah Abang dan melakukan serangan ke pos pos Belanda. Namun pasukan pemberontak China tersebut dapat dihalau oleh VOC hingga lari kearah Bekasi dan Kerawang. Walau terus dikejar oleh serdadu Kompeni jumlah mereka makin bertambah karena banyaknya orang yang menggabungkan diri. Akhirnya pada paroh pertama tahun 1741 pasukan pemberontak tersebut memasuki wilayah kerajaan Mataram yang beribukota di Kartasura .Keratonnya terletak 10 km dari kota Solo sekarang. Kerajaan yang wilayahnya meliputi Jawa bagian Tengah dan Timur tersebut diperintah oleh seorang raja yang bernama Paku Buwono II ( PB II ). Raja beserta rakyat Mataram menyambut baik kedatangan pasukan China ini. Orang orang Jawa menyebut pemimpin laskar China ini dengan nama Kapitan Sepanjang.

Rakyat Mataram dan rajanya sebetulnya sudah lama ingin lepas dari kekuasaan VOC, namun belum berani melakukan tindakan apapun karena merasa belum mempunyai kekuatan yang meyakinkan. PB II melihat kedatangan pasukan China merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan niatnya . Sang raja melakukan koalisi dengan Sepanjang. Pada tanggal 1 Agustus 1742 Benteng VOC di Kartasura diserbu pasukan gabungan China-Mataram. Kapten Van Plasen, komandan Benteng tewas dieksekusi. para serdadu VOC yang hidup dijadikan tawanan. Pasukan China- Mataram memperluas serangan ke segala penjuru , mulai dari Tegal , Lasem sampai Gresik . Karena kewalahan menghadapi serangan serangan tersebut, maka VOC mendatangkan pasukan bantuan dari Batavia. Berkat bantuan pasukan dan persenjataan yang tiba, maka laskar China dibawah Sepanjang dan pasukan Mataram dibawah pimpinan Bupati Grobogan Martapura mengalami kekalahan di desa Kaligawe Semarang.

Merasa diatas angin , Kompeni memberikan ultimatum kepada PB II. Raja yang bertahta di Kartasura tersebut disuruh milih. Kalau berbalik ikut Kompeni maka kepadanya akan diberi pengampunan dan dijamin kelangsungan kedudukannya sebagai raja. Sedangkan kalau tetap membantu pasukan China maka beliau akan dihabisi. Sang raja PB II memilih berbalik dan membantu VOC melawan laskar China. Patih kerajaan yang bernama Notokusumo dan para bupati menentang putusan rajanya. Notokusumo ditangkap Belanda dibuang ke Sri Langka. Para Bupati beserta rakyatnya tetap meneruskan perjuangan mereka melawan Belanda . Pada pertengahan tahun 1742 diadakan suatu pertemuan yang dihadiri antara lain oleh Bupati Martapura, Bupati Mangunoneng, Kapitan Sepanjang dan Panglima laskar China Singseh ( Tan Sin Ko ). Mereka bersepakat mengangkat Rd Mas Garendi cucu Amangkurat III sebagai raja Mataram . Raja Baru tersebut selanjutnya bergelar Amangkurat V dan terkenal dengan sebutan Sunan Kuning.

Pasukan Sunan Kuning yang terdiri dari para bupati yang tetap memberontak pada kekuasaan VOC bersama dengan laskar China akhirnya bergerak menuju Kartasura. Ibukota Mataram jatuh dalam kekuasaan mereka. PB II lari ke Ponorogo. Raden Mas Said , cucu Amangkurat IV yang juga mengobarkan perlawanan terhadap VOC diangkat oleh Sunan Kuning sebagai panglima perangnya. Segera setelah Kartasura jatuh, Sunan Kuning ingin mewujudkan cita citanya untuk mengusir VOC. Api peperangan yang dahsyat berkobar di seluruh Jawa Tengah dan Timur.Beliau mengirim R.M. Said bersama pasukan China menyerang pasukan VOC dibawah Kapten Geritt Mom yang berada di Jepara. Singseh,komandan pasukan China gugur dipenggal kepalanya oleh serdadu VOC di pantai Lasem . Belanda tidak mau meninggalkan kesempatan. Mereka terus mendesak pasukan Sunan Kuning dari arah Semarang. Sedangkan dari arah timur Keraton Kartasura diserang oleh tentara PB II dan pasukan Madura. Akhirnya pada bulan Desember 1742 Keraton Kartasura kembali dikuasai PB II yang dibantu Kompeni.

Sunan Kuning bersama Raden Mas Said dan Sepanjang meninggalkan keraton dan membangun pertahanan di desa Randulawang yang terletak disekitar Candi Prambanan. Dari tempat tersebut pasukan gabungan China-Mataram melancarkan serangan gerilya ke pos pos pertahanan Belanda. Akirnya Belanda mengerahkan semua kekuatannya untuk menghancurkan Randulawang. Sunan Kuning bersama panglima R.M Said dan Sepanjang bergerak menuju kearah timur bersama sisa sisa pasukannya.

Sampai di desa Caruban Madiun, Sepanjang bersama Sunan Kuning berniat untuk menuju ke Pasuruan guna merekrut orang orang China yang berada disana. Sampai di sekitar Surabaya ,Sunan Kuning- Sepanjang bergabung dengan pasukan Mas Brahim ,cucu Untung Surapati yang bergerilya di sekitar Surabaya dan Pasuruan. Sedangkan R.M Said tetap memimpin gerilya di sekitar Jawa Tengah. VOC berhasil menangkap Sunan Kuning di Surabaya, dan diasingkan ke Sri Langka. Sedang Sepanjang berhasil lolos dan melarikan diri kearah timur. Sejak itu Sepanjang lenyap bagai ditelan bumi. Kompeni tidak pernah berhasil menangkap atau membunuhnya. Dia terakhir tampak dilihat orang pada tahun 1758 di Bali.

Perang Sepanjang yang berlangsung selama tiga tahun merupakan perang yang terbesar yang harus di hadapi VOC di bumi Nusantara. Cakupan geografisnya meliputi seluruh Jawa. Dimulai dari Batavia dan berakir di ujung timur Jawa. R.M Said kelak pada tahun 1757 mengadakan perjanjian dengan Paku Buwono III . Beliau memimpin suatu praja dengan gelar Mangkunegoro I. Atas jasa kepahlawanannya dalam melawan penjajahan, pada tahun 1978 Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Kemerdekaan RI kepada almarhum.

Kepada para keturunan Laskar Sepanjang kami mengucapkan ” Gong Xi Fa Cai ” Selamat Tahun Baru Imlek 2560. Semoga jiwa kepahlawanan dan pengorbanan Sepanjang tetap bersemayam di hati anda semua.

Sumber : “Perang Sepanjang 1740 - 1743, Tionghoa- Jawa lawan VOC ”

oleh : Daradjadi