Selasa, 13 Januari 2009

Indopos, Selasa 13 Januari 2009

SELAMATKAN RUMAH OEY DJIE SAN

Pemuda Tionghoa Gelar Diskusi

DIPICU mulai terbengkalainya bangunan cagar budaya, puluhan anak muda di sekitar rumah Kapitan Oey Djie San di Karawaci, Tangerang berkumpul untuk melakukan diskusi serta mencari solusi agar bangunan tersebut bisa diselamatkan, Sabtu (10/1) malam lalu. Keberadaan rumah Kapitan Oey Djie San kini 40 persen bangunannya sudah dirusak karena kepemilikannya sudah diambil alih orang lain. Elemen masyarakat, khususnya dari kalangan pemuda-pemudi Tionghoa konsern memperjuangkan kelanggengan bangunan itu. Ken Ken, koordinator pemuda Tionghoa yang peduli bangunan cagar budaya mengungkapkan dirinya merasa ironis melihat bangunan bersejarah itu akan segera dibongkar. “Padahal, bangunan kapitan itu memiliki keunikan arsitektur yang sulit ditemukan di tempat lain. Yaitu keberadaan arsitektur yang menggabungkan arsitektur Eropa (Belanda), local (Melayu Tangerang), dan China . Tidak banyak gedung tua yang memiliki keunikan seperti rumah Kapitan Oey Djie San,” tuturnya kepada Indo Pos.

Maka itu, bersama dengan Ikatan Pemuda PSMTI, Koalisi Antar Generasi dan Anak Langit, serta elemen pemuda lainnya, pihaknya mengharapkan Pemda setempat bisa mengambil alih bangunan itu sebagai bagian dari cagar budaya. Sehingga, lanjutnya, keberadaan bangunan itu bisa terus bertahan sebagai bagian dari wisata budaya Tangerang.

Untuk diketahui, rumah Kapitan Oey Djie San berdiri sejak abad ke 18. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 1,8 hektar itu dulunya merupakan pusat administrasi bagi orang Tionghoa. Juga pernah dipakai sebagai tempat pengungsian masyarakat Tionghoa Tangerang ketika terjadi pembantaian di Tangerang 1946 (peristiwa gedoran).

Sementara itu, bagi Eddie Sadeli selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa Indonesia (LPPMTI) mengaku sangat ironis melihat keberadaan bangunan tua di Indonesia.“Ketika keluarga tidak lagi bisa mengurus bangunan itu, Pemda tidak tanggap mengambil alih. Padahal, situ situ sangat berharga bagi pendidikan sejarah generasi selanjutnya,” imbuhnya. Selain sebagai bagian dari pendidikan sejarah bangsa, bangunan itu juga pantas menjadi aset wisata untuk Pemda setempat. Kendala dana seringkali menjadi keluhan Pemda ketika dituntut untuk melestarikan cagar budaya. “Sepertinya, elemen komunitas Tionghoa pun harus turun tangan. Misalnya, mereka bisa membeli bangunan itu kemudian dipakai sebagai tempat perkumpulan atau rumah abu Marga. Saya rasa, itu solusi yang paling mungkin saat ini,” sarannya. (sic)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar