Kamis, 08 Januari 2009

MAKIN MENGUAT EKSISTENSI KETIONGHOAAN DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA



Oleh


DJASMIN, SH., MH


KEBIJAKAN PEMERINTAH REFORMASI TERHADAP WARGA TIONGHOA

Setelah reformasi tahun 1998, era yang menjunjung tinggi demokrasi, tatkala Presiden Soeharto lengser keprabon, mulai muncul pandangan-pandangan baru yang lebih rasional tentang kehidupan dan status masyarakat Tionghoa di Indonesia. Berbagai usaha pun dilaksanakan untuk memperkecil jurang antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia lainnya. Dimulai era pemerintahan Presiden BJ. Habibie melalui Inpres No 26/1988 tanggal 16 September 1998 menghapus istilah Pribumi dan Non Pribumi, agar tidak mempertajam perbedaan antara kedua golongan tersebut. Melalui Inpres No 4 tahun 1999 tanggal 05 Mei 1999 dalam rangka untuk melaksanakan KEPPRES No 56 tahun 1996 tentang bukti SBKRI bagi Warga Tionghoa cukup Akta Kelahiran, KTP dan Kartu Keluarga, serta memulihkan kembali segala hal yang melarang atau membatasi kursus bahasa Mandarin. Kemudian diperbolehkan bagi Warga Tionghoa untuk menyelenggarakan kursus fungsional Praktis Bahasa Tionghoa dengan SK MENDIKNAS Nomor 269/U/1999 tanggal 14 Oktober 1999. Sedangkan dikalangan orang Tionghoa sendiri muncul keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah era Reformasi. Gejala ini merupakan salah satu indikasi adanya proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat Indonesia Tionghoa. Jika dibandingkan dengan keadaan orang-orang Tionghoa di Negara Thailand dan Philipina yang telah berhasil manjalankan proses akulturasi, intergrasi dan asimilasi menjadi Pribumi, maka kedudukan Warga Tionghoa di Indonesia masih berputar-putar dalam mencari legitimasi identitas Ketionghoaannya. Yang perlu dicatat dalam sejarah Indonesia bahwa di bawah Presiden Habibie pers menjadi merdeka, partai politik dan perkumpulan atau organisasi Tionghoa dengan leluasa dibentuk, daerah-daerah mendapatkan otonomi. Dan dalam masa Kepresidenannya yang pendek itulah, warga Indonesia Tionghoa berhenti ketakutan. Pemerintah membuka lebih banyak kesempatan bagi ekspresi kebebasan dan keleluasaan bagi warga Tionghoa untuk berimprovisasi melakukan pembangunan dirinya sesuai dengan karakternya dari sisi geografis, budaya dan adat istiadat.

Keadaan ini terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan KEPPRES No 6 tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang larangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, dan KEPRES No 6 tahun 2000 mengembalikan hak-hak budaya warga Tionghoa serta telah membuka belenggu budaya Tionghoa yang terpasung secara yuridis selama 34 tahun. Dengan demikian terbitnya KEPPRES ini secara sosio yuridis Warga Tionghoa diakui eksistensinya sebagai salah satu komponen bangsa Indonesia. Situasi setelah terbitnya KEPPRES disusul Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 tahun 2001 tanggal 19 Januari 2001 tentang Imlek sebagai hari libur Fakultatif dan dilanjutkan lagi dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor : 62/MPP/Kep/02/2001 tentang pencabutan larangan impor Buku, majalah Bahasa Tionghoa sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/tahun 1973. Kebijakan Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid diarahkan untuk mengakomodasi perbedaan dari pada menghapus perbedaan dalam baju keseragaman yang telah lama menjadi pendekatan resmi Pemerintah Orde Baru.

Dengan berbagai kebijaksanaan Presiden Abdurrahman Wahid pada hakikatnya berangkat dari kesadaran untuk meluruskan keadaan yang memperlakukan warga Tionghoa secara diskriminatif dan sungguh-sungguh memerhatikan ketidakadilan yang diterima oleh warga Tionghoa selama rejim orde baru ; Pemerintah berusaha untuk menuntaskan hubungan universal egaliter antara Warga Tionghoa dan Bumi Putera ; Pancasila pun menjadi ideologi terbuka dan bukan satu-satunya asas bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, warga Indonesia Tionghoa tak lagi takut, bahkan telah merubah sikap orang Tionghoa menjadi berani dan dengan bangga mengakui Ketionghoaan mereka, dan secara drastis terjadi kebebasan perayaan Kong Hu Cu ataupun aktivitas kebudayaan Warga Tionghoa lainnya seperti Sekolah Tionghoa, Majalah dan Buku Tionghoa , Tahun Baru Imlek, Seni Budaya permainan Barongsai, Cap Go Meh, Festival Kue Bulan, wayang po-te-hi salah satu tradisi Tionghoa di Jawa pun beraksi kembali, taman budaya Tionghoa pun mendapat tempat di Taman Mini Indonesia, tradisi sembahyang Ceng Beng (ziarah kuburan) dan segala kegiatan budaya Tionghoa diselenggarakan seluruh tanah air tanpa perlu lagi izin khusus, warga Tionghoa pun bisa membentuk organisasinya sendiri yang beragam.

Ditambah lagi dengan dijadikannya tahun baru Imlek sebagai hari libur Nasional pada era pemerintah Presiden Megawati menerbitkan KEPPRES Nomor 19 tahun 2002 tanggal 09 April 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Kebijakan pemerintah era Reformasi untuk penghapusan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia dilanjutkan oleh pemerintah Presiden Soesilo Bambang Yudoyono dengan mencabut segala bentuk peraturan yang diskriminatif dan berupaya menghapus segala bentuk diskriminasi di Indonesia dengan memberlakukan UU No 12 tahun 2006 tanggal 02 Agustus 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan UU No 23 tahun 2006, tanggal 29 Desember 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang pada essensinya orang-orang keturunan Tionghoa dikembalikan haknya sebagai Warga Negara Indonesia tanpa perlu dibebani lagi dengan kepemilikan surat-surat semacam SBKRI. Masyarakat Tionghoa kini diakui sama secara hukum dengan masyarakat lainnya yang sebangsa dan setanah air ; Bangsa Indonesia tidak lagi didefinisikan dalam arti bangsa Indonesia yang Pribumi. Secara hukum dan Konstitusional kedudukan Warga Tionghoa memang dijamin kemerdekaan dan persamaan hak Kewarganegaraan berdasarkan UU No 12 tahun 2006 dan kependudukannya berdasarkan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah menghapus dikotomi Rasial Indonesia asli dan bukan asli ; status hukum keturunan Tionghoa menjadi jelas tetapi pada kenyataannya, diskriminasi tetap saja eksis. Jika implementasi UU kewarganegaraan dan ADMINDUK ini berjalan dengan baik, maka masa depan Indonesia baru tidak lagi membuang energi mubazir dengan politik diskriminasi rasial seperti yang Warga Tionghoa alami sebelumnya. Dengan demikian demi hukum tidak ada lagi perbedaan Asli dan tidak Asli, Pribumi dan Non Pribumi, sehingga keturunan Tionghoa, Arab ataupun India secara otomatis sejak kelahirannya sudah sama-sama warga Negara Indonesia yang tidak pernah mengganti kewarganegaraannya atas kemauan sendiri adalah menjadi Negara Indonesia Asli.

INDONESIA MENCARI PLURALISME KEMBALI

Dari rangkaian kebijakan 4 (empat) Presiden Republik Indonesia dalam era Reformasi tersebut secara tidak langsung telah memandulkan kebijaksanaan asimilasi, boleh dikatakan lebih mendekati konsep Pluralisme dan konsep Integrasi, Indonesia mencari Pluralismenya kembali ; terlepas dari konsep yang di gagas oleh BAPERKI, perlu dicatat bahwa dari sebelum kemerdekaan sampai dengan Negara bangsa ini terbentuk sejak proklamasi kemerdekaan hingga Orde Baru belum ada kesungguhan Rejim yang berkuasa untuk menyelesaikan hubungan Sosial Politik masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lainnya secara mendasar, efektif dan berdasarkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Baru dalam era Reformasi ini permasalahan besar dan mendasar hubungan sosial politik masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lain mulai mendapat pemecahannya melalui politik hukum berupa KEPPERS, Inpres dan terakhir dengan UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menghapus dikotomi rasial Indonesia Asli dan bukan asli. Dengan demikian bangsa Indonesia tentu akan mengalami suatu Fase yang baru, suatu masa ketika Warga Tionghoa di Indonesia bisa sungguh-sungguh merasakan bahwa Indonesia adalah Negeri kita. Bukan tidak mungkin bahwa proses Asimilasi, Integrasi dan Pluralisme berjalan baik, wajar dan alami ; Warga Tionghoa dan Warga Bumi Putera membaur menjadi satu, semua suku bangsa Indonesia pun akan bersatu dalam hal Asimilasi, Integrasi dan Pluralisme wajib digalakkan, jika Indonesia benar-benar hendak menerima keragaman dan hak minoritas dalam bingkai multikulturalisme.


KEBEBASAN MASS MEDIA TIONGHOA

Setelah Reformasi terus bergulir, ruang ekspresi bagi masyarakat Tionghoa di bidang pers dibuka kembali, dengan sejumlah media publikasi barbahasa Tionghoa, baik melalui penerbitan buku-buku dan majalah Tionghoa bebas beredar maupun media penyiaran seperti metro TV merebut peluang pasar di kalangan Tionghoa dengan menayangkan acara berita Metro Xinwen yang berbahasa mandarin, demikian juga DAAI TV yang menyiarkan Berita Gerakan Sosial Yayasan Tzu Chi dan drama kemanusiaan, termasuk radio pun mengambil program yang sama seperti Radio Cakrawala yang menyiarkan program dengan berbahasa Mandarin dan Indonesia dengan menyiarkan program-program acara musik dan lagu serta berita berbahasa mandarin. Pers Tionghoa kembali muncul kepermukaan dan meramaikan khazanah kehidupan pers di tanah air seperti Majalah Sinergi, Majalah China Town, Tabloid Mandarin Pos, Majalah Suara baru, Koran Sinar Glodok, Koran Guo Ji Ri Bao (Jawa Pos Group), National News, Harian Indonesia dan Indonesia Shang Bao, kemudian tumbuh dengan subur tempat kursus bahasa Mandarin menjadi populer baik bagi warga Tionghoa maupun bagi warga Bumi Putera.

Semangat kebebasan setelah menampilkan kembali identitas dan aneka budaya Tionghoa dalam pers Tionghoa. Pers Tionghoa berlomba-lomba memanfaatkan momen kebebasan tersebut dengan menampilkan berita-berita tentang pelestarian tradisi leluhur, problem-problem budaya, persoalan sara, iklan duka cita dan perkawinan, berita aktivitas Perkumpulan, Yayasan, Peguyuban dan tokoh-tokoh Tionghoa yang sarat dengan politik identitas dan representasi identitas Warga Tionghoa yang menampilkan tulisan-tulisan dengan huruf Tionghoa. Era Reformasi menjadi era representasi identitas budaya Tionghoa ; sangat signifikan perubahan yang drastis dan cukup nyata berkaitan dengan ekspresi Kebudayaan Tionghoa.

Namun Pers Tionghoa belum menjadi sarana efektif untuk menuangkan aspirasi politik Warga Tionghoa. Pers Tionghoa justru terkesan menjadi media reuni bagi masyarakat Tionghoa yang rindu pada tradisi-tradisi lama yang semakin luntur oleh terpaan globalisasi. Hanya sedikit Media Massa yang berani menampilkan persoalan politik diskriminasi rasial dan nasionalisme serta kurang memberi ruang bagi penulis potensial untuk menuangkan aspirasi politik tetapi lebih menonjolkan perjuangan meneguhkan identitas Tionghoa.

Fakta yang paling nyata bahwa media massa Tionghoa hanya diakses oleh minoritas Tionghoa dan generasi Tionghoa Totok yang jumlahnya terbatas, karenanya kurang mendapat apresiasi generasi muda Tionghoa, dengan demikian misi perjuangan meneguhkan identitas dan nilai-nilai tradisi leluhur Tionghoa tidak akan banyak memberikan hasil, disebabkan generasi muda Tionghoa telah mengalami proses detradisionalisasi yang amat cepat, lebih dari tiga atau empat generasi telah beradaptasi dini dengan penghidupan lokal, pengaruh pendidikan Nasional dan Internasional, generasi muda telah kehilangan bahasa dan tulisan-tulisan mandarin, generasi muda telah fasih berbahasa Indonesia dan Inggris, agama pun telah banyak beralih dari Buddha atau Kong Hu Cu menjadi Kristen, Katolik dan Islam, dan bentuk tradisi atau adat istiadat Tionghoa pun telah hilang dari identitas mereka. Apalagi media massa Tionghoa masih menonjolkan eksistansi ketionghoaan yang berkiblat pada Negeri tirai bambu tetapi sangat kurang menampilkan pembahasan konflik politik atau persoalan Sara yang lebih nyata dampaknya bagi kehidupan masyarakat Indonesia Tionghoa, kesemua ini disebabkan adanya pertimbangan aspek ekonomi menjadi bagian terpenting sumber pendapatan dan kepentingan pihak pemilik media massa. Pada tingkat tertentu media massa Tionghoa tetap tersandera oleh kecenderungan faktor politik, ekonomi dan sosial yang mempengaruhi produksi, sirkulasi, serta dampak faktor-faktor tadi terhadap masyarakat Indonesia Tionghoa.

Pada perkembangannya tidak sedikit pers Tionghoa gulung tikar karena tidak dikelola dengan cara profesional, kesulitan keuangan dan politik, termasuk jumlah pembaca yang sedikit, sirkulasi yang terbatas, ketergantungan pada iklan dan dukungan dari kepentingan bisnis serta kecenderungan untuk mendukung perselisihan politik antara Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok masih menjadi topik dari aliran lama yang telah usang. Yang benar-benar bertahan biasanya bersekutu dalam kebijakan redaksional berita-berita yang menonjolkan pribadi tokoh-tokoh konglomerat Tionghoa yang berperan sebagai pengusaha, sekaligus juga tokoh dalam berbagai perkumpulan atau organisasi Tionghoa baik dalam kegiatan sosial maupun representasi Individual.


KEBEBASAN WARGA TIONGHOA MENDIRIKAN ORGANISASI

Pada era Reformasi juga terlihat lebih membuka kesempatan baru bagi warga Tionghoa kembali mendirikan Perkumpulan, Yayasan, Paguyuban, Ikatan Alumni, Assosiasi dan berbagai bentuk organisasi social yang bercirikan berbagai daerah asal usul, marga-marga Tionghoa, Kesenian Tionghoa, Penulis dan Pengarang Sastra Tionghoa, Kaligrafi Tionghoa, Xiangqi (catur) Tionghoa, Pelukis Tionghoa dan berbagai akar budaya Tionghoa lainnya tumbuh berkembang pesat melampaui batas Wilayah dan Negara. Dalam era Reformasi yang terkait lebih demokratis, populis dan partisipatif benar-benar surga bagi masyarakat Tionghoa memanfaatkan momentum kebebasan mengekspresikan aneka budaya, kebebasan dalam berpolitik dengan muncul pendirian Partai Politik Tionghoa seperti Partai Reformasi Tionghoa dan Partai Bhineka Tunggal Ika dengan harapan untuk merangkul konstituen warga Tionghoa, namun pada akhirnya Partai Tionghoa tidak mendapat respons positif dari semua warga Tionghoa sehingga secara perlahan-lahan dan pasti semua Partai Politik yang berorientasi Tionghoa berakhir tanpa dukungan masyarakat secara luas. Namun demikian beberapa Partai Pilitik lainnya telah mengakomodir orang-orang Tionghoa dengan adanya keterwakilan beberapa orang Tionghoa di DPR.

Berbagai Perkumpulan atau organisasi Tionghoa mempublikasi diri baik terlibat aktif dalam komunitas maupun representasi individu melalui media massa, dan buku-buku peringatan ulang tahun yang dikeluarkan oleh pemimpin semua perkumpulan atau organisasi atau Hwe Koan Tionghoa. Setiap buku peringatan minimal terisi laporan yang memaparkan sejarah Perkumpulan atau Organisasi baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan, deskripsi berbagai kegiatan mutakhir, perkenalan para Dewan Pembina, Pengawas, Kehormatan dan Pengurus Perkumpulan atau Organisasi, berikut sebuah daftar yang dilengkapi dengan foto para pengurus dan anggota Perkumpulan atau Organisasi. Tetapi banyak diantara buku peringatan, buku biografi muncul melampaui hal tersebut, dengan menentukan sejumlah artikel tentang tanah asal usul orang Tionghoa, biografi para leluhur dari marga atau perkumpulan atau Organisasi yang termasyhur serta biografi para pengurus dan juga para anggota perkumpulan atau Organisasi. Walaupun buku-buku itu tidak dijual untuk umum, penerbitannya merupakan kebanggaan besar bagi setiap perkumpulan atau organisasi Tionghoa yang dengan caranya sendiri berusaha menonjolkan identitas Ketionghoaannya sekaligus melestarikan kebudayaan Tionghoa melalui berbagai aktivitas yang dipublikasikan oleh media massa Tionghoa.


ORIENTASI PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI TIONGHOA

Ketika kebebasan terbuka, mulailah terkuak keinginan satu persatu dari warga Tionghoa untuk menonjolkan identitasnya, dibarengi dengan pertumbuhan dan perkembangan pesat Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia, dilihat dari konteks politik sebelum dan sesudah Reformasi terkesan sangat menonjolkan euphoria kebebasan berserikat yang dijamin secara tegas dalam UUD 1945. Dan uniknya ada beragam Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa menumbuhkan respons yang berbeda dari generasi muda Tionghoa sendiri yang cenderung pasif terhadap kebebasan berserikat, sedangkan generasi tua dengan responsive memanfaatkan momentum kebebasan berserikat tersebut untuk mengorganisasi ide, pikiran dan pandangan sekaligus wujud kebebasan mengekspresikan budaya melalui Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang bergerak di berbagai bidang antara lain bidang politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan ; dan ada perkumpulan atau Organisasi lain bergerak di luar bidang-bidang tersebut, ternyata dari beragam Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa tersebut tidak secara spontan mendapat dukungan seluruh elemen bangsa ;

Belum ada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang secara konkrit dan nyata mewakili aspirasi dan kepentingan warga Tionghoa dalam tingkat Nasional baik di legislative maupun eksekutif, Adanya fakta semakin tingginya mobilitas warga Tionghoa dan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang cenderung vertikal, elitis dan eksklusif. Dibarengi dengan penuh heroik dan euphoria warga Tionghoa dan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa semakin menonjolkan budaya dan eksistensi ketionghoaannya seakan-akan yang paling unggul sebagai pelampiasan ketidakberdayaannya selama ini dikekang dan ditekan ; akibatnya masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa dengan pemandangan dinamika dan mobilitas warga Tionghoa tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang harus dicurigai atau diwaspadai ; bahkan ada kecenderungan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mulai dicurigai kegiatannya yang sangat berorientasi pada dukungan terhadap kebangkitan ekonomi RRT dengan kecenderungan sebagian warga Tionghoa melakukan kegiatan Investasi di Negeri tirai bambu ; melalui bendera Perkumpulan atau Organisasi telah hadir tamu-tamu saudara Tiongkok untuk berbagai kegiatan budaya, silaturrahmi, wisata dan lain-lain ; Berbagai bentuk kerjasama ekonomi dengan penandatanganan Memorandum Of Understanding (MOU), dari berpuluh-puluh nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani antara Investor Tiongkok dan Indonesia Tionghoa secara teoritis menampilkan sambutan luar biasa, tetapi pelaksanaannya hampir dapat dikatakan bahwa realisasi dan tindak lanjut dengan sebuah perjanjian investasi secara definitif sangat sedikit terjadi ; kemudian juga mengadakan kerjasama antar Lembaga Pendidikan dan kegiatan pertukaran Kebudayaan aktif ; melalui pertukaran dan kerjasama budaya, ekonomi dan pendidikan, dengan berbagai aktivitas kunjungan tamu dari Negara RRT ke Indonesia baik individual, pejabat, maupun Lembaga perkumpulan, termasuk berbagai organisasi sosial,organisasi perdagangan mendapat sambutan luar biasa dengan diringi pesta mewah dari hotel ke hotel berbintang lima dapat dianalogikan seperti pesta pertunangan sebagaimana dipublikasikan dalam berbagai Pers Tionghoa.

Di satu sisi ada kecenderungan sekelompok warga Tionghoa yang menonjolkan gaya hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya yang masih terjebak dalam kemiskinan struktural, termasuk semakin banyak Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang menonjolkan orientasinya ke Negeri Tiongkok, bersifat ekslusif dan elitis, tetapi pada sisi lain terdapat kecenderungan untuk meneruskan perjuangan menuntut persamaan hak Kewarganegaraan dengan membentuk, dan terlibat aktif dalam gerakan yang memperjuangkan persamaan hak Warga Negara baik secara individual maupun melalui arena organisasi civil society yang terlembaga.

Sungguh disayangkan bahwa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang berkembang saat ini merupakan potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia sejak Reformasi, ternyata masih mengembangkan pemikiran tradisional, konservatif, komunalis, dan sukuisme dengan orientasi Ketionghoaan, yang sangat menonjol untuk memelihara pandangan yang lebih tradisional, bahkan masih bernostalgia dengan masa lalu ; ada juga yang berjuang sendiri mempertahankan warisan budaya Ketionghoaan yang berorientasi tradisional, dan menonjolkan simbol-simbol kebudayaan secara ekstrim, semakin menguat fanatisme terhadap kelompoknya bukan Ketionghoaan yang berorientasi Nasional. Sebaliknya di kalangan generasi muda Tionghoa telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya Tionghoa tradisional menjadi Ketionghoaan yang berorientasi Nasional, sehingga perkembangan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang eksis saat ini banyak dipelopori generasi tua ternyata dalam perjalanannya kurang mendapat respons positif dari generasi muda Tionghoa di Indonesia pada umumnya sudah menjadi peranakan dan kebarat-baratan, dapat dikatakan pola pikir generasi muda Tionghoa dipengaruhi oleh pendidikan Nasional maupun Pendidikan Luar Negeri yang modern dan secara faktual tidak lagi menguasai adat istiadat tradisional Tionghoa.

Bahkan banyak generasi muda yang lahir sudah beberapa generasi hidup berasimilasi maupun berintegrasi dengan masyarakat, mereka juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, dalam kebudayaan pun telah berakulturasi dengan kebudayaan setempat serta kebudayaan Indonesia ; Di samping semua hal tersebut, tidak luput pengaruh dari kebijakan orde baru yang anti kebudayaan Tionghoa turut memberi sumbangan perubahan nilai-nilai budaya Tionghoa yang cenderung mengalami proses detradisionalisasi.

Jika diperhatikan, Reformasi selama 10 tahun, ada juga yang menghasilkan sejumlah hal positif yaitu munculnya berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang melakukan kegiatan karitatif (bantuan amal langsung) kepada masyarakat miskin yang membutuhkan seperti pembagian sembako, bakti sosial seperti pengobatan gratis, membantu bencana alam baik bersifat Lokal maupun Nasional ; Suatu kegiatan yang bersifat sporadis, dan dilangsungkan minimal satu tahun dua kali perkumpulan atau organisasi Tionghoa mengadakan ritual tahunan kegiatan karitatif (bantuan amal langsung) kepada seluruh lapisan masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis ; fungsi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa hanya seolah-oleh seperti badan amal yang menyediakan jasa atau bantuan langsung kepada mereka yang membutuhkan tanpa publikasi dari pers media Nasional seperti Kompas, Media Indonesia atau Suara Pembaharuan, jelas merupakan kegiatan amal yang tidak menjawab persoalan dan menyelesaikan masalah bangsa Indonesia secara menyeluruh.

Ada kesan bagi masyarakat lain bahwa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa ternyata berasal dari konglomerat Indonesia Tionghoa kaya raya yang memamerkan kekayaan melalui aksi karitatif tersebut, muncul kapitalis baru yang mau tak mau menimbulkan warna baru yang mempertajam perbedaan sosial. Dalam kondisi kegiatan bantuan amal langsung (karitatif) yang semakin hari semakin berkembang, tentunya keadaan seperti itu akan memunculkan persoalan baru dan stigma baru terhadap Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa sebagai wadah pameran kekayaan tipe baru dan sebagai sarana pertunjukan kekuatan ekonomi dengan menggunakan bendera bantuan amal langsung (karitatif) sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan terhadap masyarakat bawah yang tidak mampu, tentunya kegiatan amal bantuan langsung (karitatif) berorientasi jangka pendek, hanya berperan sebagai mata rantai baru dalam rantai persoalan kecemburuan sosial bentuk baru yang dipamerkan; sehingga bantuan amal langsung (karitatif) menjadi mubazir karena tidak menyelesaikan hubungan yang tidak sehat antara Indonesia Tionghoa dan masyarakat lainnya, bahkan prasangka sosial terhadap Indonesia Tionghoa adalah kaya menjadi semakin menguat kembali. Hal ini sangat mencemaskan dan membahayakan kemungkinan menyalakan api rasialisme anti Tionghoa dilapisan menengah miskin dan kelas paling bawah; kedudukan social ekonomi Indonesia Tionghoa bisa jadi akan kembali mangalami tragedy kekerasan kolektif. Sebagaimana terjadi dari masa ke masa ; mungkin Indonesia Tionghoa belum kapok menyimpan banyak luka dan trauma korban kekerasan kolektif.

Sedangkan kegiatan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dalam bentuk advokasi transformative (pemberdayaan dalam arti luas) masih lemah, hanya ada sedikit yang melakukan kegiatan bersifat transformative dengan mendirikan sekolah seperti pendiri sekolah PATHUA di Bumi Serpong Damai dan Universitas MA CHUNG di kota Malang sebagai awal langkah beberapa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa menekuni masalah pendidikan dan mendukung berbagai program bea siswa yang berkembang sesuai perubahan keadaan dan kebutuhan Negeri ini.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa kurang berusaha berperan efektif dan relevan di dunia yang berubah dengan cepat. Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa kurang memiliki akar budaya Filantropi yaitu suatu usaha aktif untuk memajukan kesejahteraan manusia seperti Organisasi Filantropi Amerika, Inggris dan Negara Eropa lainnya.

Demikian pula dengan peran Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus mampu mendorong Pemerintah untuk bersama-sama mentransformasikan peranannya yang mendorong semangat aktivitas bagi masyarakat dalam perbaikan kesempatan dan mutu hidup bagi kelompok miskin serta memberdayakan masyarakat melalui manajemen Nirlaba secara sukarela dan mandiri.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus membingkai diri menjadi satu kepentingan ideologi sosial dan harus secara bersama-sama merumuskan kembali garis perjuangan serta menetapkan tujuan atau format baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan mutakhir Indonesia. Dengan demikian sebaiknya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mengurangi atau tidak lagi saling berlomba-lomba mengadakan pesta Nasional dan Internasional dengan tema pertemuan-pertemuan/kongres perkumpulan atau organisasi Tionghoa sedunia adalah positif dalam rangka mengundang dan mengembangkan Investasi atau Periwisata Nasional dengan tidak melupakan kepentingan masyarakat akar rumput atau kepentingan Nasional, Bangsa dan Negara.


DINAMIKA PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI TIONGHOA

Pada era sebelum dan setelah Kemerdekaan kita saksikan bahwa Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mengembangkan ideologi sosial dengan menyelenggarakan kegiatan sosial, pendidikan dan pelayanan kesehatan ; Hubungan Pribadi sesama anggota dan kepemimpinan kolektif Perkumpulan atau Organisasi sosial tetap terjaga baik, penuh semangat swadaya dan swamandiri serta solidaritas yang tinggi dalam menjalankan kegiatan Organisasi, jika sesama anggota ada perselisihan dan perbedaan pemikiran tetap terjaga hubungan baik sesama anggota. Sementara sekarang Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa hampir dapat dikatakan tidak mempunyai identitas ideologi sosial yang jelas, karena terdapat kecenderungan menggunakan Perkumpulan atau Organisasi untuk mempresentasikan individu, nama dan kekuasaan dan kuatnya sentimen primordidisme dalam setiap organisasi, keadaan ini mencemaskan dan tidak produktif karena menimbulkan penilaian Negatif masyarakat, dan akan menciptakan benih-benih konflik sekaligus merendahkan kualitas dan wibawa Perkumpulan atau Organisasi. Salah satu dinamika pertumbuhan dan perkembangan gerakan Perkumpulan dan Organisasi Tionghoa yang terjadi saat ini adalah munculnya Friksi atau konflik Interen dan eksteren serta terjadi persaingan tidak sehat antara kelompok dan interen organisasi yang semakin mengental. Friksi dan benih-benih konflik Interen antar personal/kelompok dan organisasi perkumpulan dapat menciptakan atmosfer kerja yang buruk dan penuh ketegangan, sehingga melupakan arti visi dan misi Perkumpulan atau Organisasi yang dipimpin. Perselisihan yang berlarut-larut dan tidak diselesaikan dapat menurunkan kredibilitas, produktivitas, moral serta aktivitas Perkumpulan/Organisasi tersebut.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa masih belum bisa membuat jaringan yang sehat dan kuat. Secara Internal masih terjebak pada persoalan personal antar pemimpin struktur organisasi dan para pemimpin struktur organisasi belum juga jernih dalam memisahkan antara perjuangan yang lebih besar dalam pelayanan publik dengan persoalan personal. Kekuatan generasi muda tidak dibangun dan partisipasi pun tidak ada. Tumbuh berkembangnya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa membanggakan tetapi tanpa suatu manajemen dan kebijakan public yang jelas serta sarat masalah. Itulah paradoks Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa Indonesia. Sudah semestinya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa Indonesia mengembangkan semangat integeral dan bersinergi untuk membangun Bangsa dan Negara, dengan semangat memperkuat nilai-nilai demokratis, meningkatkan taraf hidup rakyat, keadilan sosial, dan toleransi terhadap keragaman ; akan tetapi yang kita saksikan justru Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa mengembangkan semangat dan sentiment Primordial ekslusif dan elitis yang jika tidak dievaluasi secara terkendali akan menimbulkan potensi desintegratif. Salah satu tujuan gerakan Reformasi adalah menciptakan kehidupan berbangsa yang lebih demokratis. Dan dapat menjadi peluang bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa untuk bergerak maju menyelesaikan persoalan diskriminasi, membawa perubahan dan memperjuangkan hak-hak sipil warga Tionghoa. Namun yang terjadi dalam berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa justru berkembang budaya tidak demokratis, mungkin harus diakui banyak kendala budaya Tionghoa yang kurang akrab dengan paham demokrasi. Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa hendaknya mulai membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kendala internal dalam kelompok atau anggota mereka masing-masing.


HAMBATAN PROSES REGENERASI DALAM PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI TIONGHOA

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang berkembang saat ini sangat kurang memberi kesempatan pada generasi muda untuk duduk pada jabatan-jabatan yang strategis guna kaderisasi, ternyata tidak tercermin dalam struktur organisasi. Kalau pun ada beberapa orang generasi muda tampil dalam struktur organisasi hanya bersifat promotif, dalam faktual kehidupan organisasi boleh dikatakan generasi muda ternyata tidak berdaya sama sekali dalam dominasi dan tekanan psikologi budaya para sesepuh para pendiri yang konservatif dan bilamana ada gagasan generasi muda kepada generasi sesepuh pendiri dalam prakteknya tidak berjalan karena berebut kepentingan atau performance nama besar sesepuh pendiri yang menonjol, sering terjadi sesepuh pendiri sangat tidak merespons secara positif gagasan sebagus apapun, apalagi kepemimpinan yang tertutup dan one man show, memiliki kekayaan sebagai ukuran (parameter) keberhasilan dengan perbandingan bahwa generasi muda memiliki tingkat pendidikan akademis terbaik masih kurang mampu berhasil dibandingkan dengan sesepuh pendiri, dimulai juga terjadi sikap para sesepuh pendiri yang senantiasa bersikap otoriter sehingga dalam kondisi tersebut memberi efek negatif sekaligus menciptakan situasi tidak kondusif bagi generasi muda untuk bergabung atau masuk dalam Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, karenanya banyak Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa kurang maju dan tidak memiliki ideology yang jelas, hal mana menciptakan kebuntuan regenerasi.

Semestinya pemimpin Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus berani mengubah haluan dengan membuka diri bagi hadirnya generasi muda untuk berperan dan berpatisipasi ; yang terjadi justru banyak generasi muda yang dipaksakan orang tuanya untuk hadir dalam setiap momen pertemuan organisasi tanpa kesungguhan yang tulus dari generasi muda untuk mengikuti jejak generasi orang tuanya yang telah berhasil sukses tampil dalam panggung kegiatan-kegiatan Perkumpulan atau Organisasi. Hingga saat ini banyak pemimpin Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang muncul justru orang-orang yang itu-itu saja yang sibuk dengan agenda pribadi pemimpinnya, bukan agenda pelayanan kepentingan umum (Public Services). Sangat sedikit Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa yang bisa diharapkan hadir menjadi tempat untuk menyalurkan aspirasi dan gerakan perjuangan untuk menangani kepentingan umum, meningkatkan karya manusia, mengurangi ketidakadilan dan kemiskinan masyarakat Indonesia atau setidak-tidaknya kepentingan saudara-saudara masyarakat Tionghoa yang terpinggirkan, miskin atau yang tidak berdaya karena ketidakadilan dan lain-lain.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dalam banyak hal kurang memberi kesempatan pada generasi muda untuk berpatisipasi dan kurang memberi ruang otonomi bagi generasi muda menjadi pemimpin dalam struktur organisasi yang penting, sehingga sulit diharapkan terjadinya pertumbuhan dan kesinambungan kaderisasi jangka panjang berjalan dengan baik. Sudah sewajarnya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus menjadi wahana percetakan kader-kader dan kader pemimpin. Aset terbesar bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa adalah Sumber Daya Manusia (SDM), tanpa SDM yang andal tidak akan berarti apa-apa bagi kelanjutan regenerasi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, Jadi pengelolaan SDM menjadi sangat penting untuk regenerasi dan perkembangan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dimasa depan. Fakta yang terjadi pada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa saat ini masih kekurangan sumber daya manusia atau kaderisasi ; dan ini artinya Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa tidak berhasil mendidik dan membuat kader ;

Selain itu berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa masih baru mulai berkembang dan didominasi oleh generasi tua yang berusia rata-rata di atas 50 tahun yang telah mapan dan konservatif, dengan pemimpin yang muncul adalah pemimpin yang prematur dan yang itu-itu lagi, bahkan mereka kurang memahami masalah kepentingan anggota, masyarakat dan bangsa Indonesia ; sebaliknya pemimpin yang ada lebih fasih dengan solidaritas kesamaan daerah asal Tiongkok, kesamaan marga dan suku Tionghoanya, kesamaan alumni, agama dan kesamaan budaya kolektif yang menyatukan mereka atau kadang-kadang malah terjadi konflik kepentingan atau friksi interen sesama mereka, yang kemudian berkembang luas di berbagai Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa terjadi rumor, lalu terbentuk kelompok-kelompok yang pro dan kontra terhadap pemimpin tersebut. Demikian juga persaingan tidak sehat pun tidak terhindarkan antara sesama pemimpin. Akibat lain dari kondisi tersebut membuat proses kaderisasi menjadi terhambat dan tidak memberi keteladanan Nasional.

Memang setiap Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa baik yang besar maupun yang kecil pada dasarnya dibangun oleh relasi antar manusia yang kompleks, manusia yang tak kuasa menguasai syahwat untuk selalu menjadi raja yang berkuasa (Ketua Abadi), manusia yang tak kuasa mengendalikan puteranya menjadi penerus tahtanya, manusia yang terlalu angkuh untuk menghargai karya atau ide generasi muda, manusia yang tampak shaleh tetapi rakus akan kekuasaan dalam struktur organisasi ; manusia yang serakah dan masih tergoda menggunakan kursi kepemimpinannya untuk kepentingan bisnis globalnya. Maka setiap pemimpin organisasi harus menjawab persoalan bersama, menghindari persaingan tidak sehat, menyelesaikan konflik atau friksi antar pribadi atau kelompok agar tidak bertambah parah, agar setiap organisasi dapat berkembang dengan sehat dan memenuhi sasaran yang mengikat semua pihak dan bisa ikut memberi kontribusi yang berharga bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dan membantu Pemerintah dalam memerangi kemiskinan, meningkatkan taraf hidup rakyat, mengurangi ketidakadilan, mendukung kerjasama Internasional dan meningkatkan karya manusia Indonesia, kebutuhan besar bangsa untuk meningkatkan sumber daya manusia.

Banyak Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa gagal melahirkan kader-kader atau kader calon pemimpin. Proses kaderisasi pada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa cenderung membuat kader berkualitas tidak berdaya disebabkan oleh faktor tidak pengalaman, kekayaan modal (tidak mapan), terlalu diatur, dipaksakan, tidak responsif dan sangat dipengaruhi oleh para generasi tua yang otoriter, konservatif, kurang terbuka sehingga hubungan tidak selalu berjalan baik, termasuk pola pikir, pola sikap, pola kerja, rasa percaya diri, menjadi kendala tersendiri. Akibatnya masih banyak kader yang berkualitas dan profesional enggan terlibat dalam kegiatan-kegiatan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, tidak sedikit para generasi muda yang merasa gamang untuk ikut langsung bergabung karena adanya jarak pandangan yang berbeda, orientasi kebutuhan yang berbeda, gaya kepemimpinan yang berbeda, benturan kepentingan dan budaya yang berbeda ; hal ini jelas kurang menguntungkan bagi upaya kaderisasi. Di luar kancah Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa bagi generasi muda ; memang masih banyak bidang lain yang dapat ditekuni sebagai karir gerakan bagi generasi muda ; banyak yang menilai bahwa pada saat ini penghargaan pada nilai-nilai budaya, solidaritas sosial, kekeluargaan, tanggung jawab social, serta jiwa kebangsaaan telah semakin memudar. Inilah tantangan bagi Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa. Kaderisasi pada Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa dapat dikatakan belum menyentuh aspek kualitas sumber daya manusia untuk diproyeksikan menjadi pemimpin di berbagai level, baik tingkat Nasional maupun Internasional. Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa masih menempatkan faktor kemapanan, latar belakang dan pengalaman generasi muda sebagai parameter ; tidak menempatkan potensi generasi muda sebagai sasaran rekrutmen kegiatan kaderisasi. Untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan perubahan radikal; Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus membuka diri untuk merekrut generasi muda yang potensial dan profesional minus kemapanan untuk masuk dalam sistem kaderisasi dalam struktur organisasi.


PENUTUP

Akhirnya warga Tionghoa yang diakui sebagai salah satu komponen bangsa Indonesia dengan semakin menguatnya ketionghoaan dalam manifestasi budaya Tionghoa yaitu Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa, mass media Tionghoa, Sekolah/Pendidikan Tionghoa dan segala bentuk budaya Tionghoa telah eksis dalam Negara Kesatuan RI. Selanjutnya dibutuhkan keberanian warga Tionghoa dan Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa untuk menggunakan hak-hak dan kewajiban sebagai warga Negara Indonesia sebaik-baiknya, terukur dan tidak lupa diri dalam membangun prikehidupan kebangsaan yang berkesetaraan bagi semua orang.

Menguatnya eksistensi masyarakat Tionghoa di bumi Nusantara sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan instrument dan mekanisme hukum dalam era reformasi yang mampu mengakomodasikan kebutuhan eksistensial warga Tionghoa, ternyata tidak secara langsung dapat menjamin terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Terjadinya euphoria dan sedikit arogansi pesta budaya Tionghoa dibumi Nusantara dalam berbagai konteks akan menimbulkan banyak persoalan berupa sumber konflik dan komoditas poliik.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa diperlukan komitmen yang sangat tinggi untuk membangun ideologi baru yang bukan hanya sesuai dengan kebutuhan bangsa dan budaya generasi muda, namun juga selaras dengan perkembangan global yang makin tanpa batas. Ideologi baru yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dan budaya generasi muda agar dimasa depan akan melahirkan generasi muda yang mampu beradaptasi dengan pola pikir, pola sikap dan pola kerja yang baru yang tidak berdasarkan pada hirarki sosial dan primordial sebagai parameter ; Dibutuhkan dorongan ketulusan dan kesukarelaan, bahkan pengorbanan dengan konsep kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan Nasional, Bangsa dan Negara serta masa depan, dengan komitmen dapat melihat dan bermimpi, merubah, serta menggerakan generasi muda kearah tujuan yang membela, mewakili dan memperjuangkan warga Tionghoa maupun Bangsa dan Negara.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa membutuhkan suatu pola kepemimpinan yang kuat dan mampu mengerahkan generasi muda untuk bersama-sama berjuang mencapai cita-cita yang mampu meneruskan perjuangan baru yang diarahkan untuk menumbuhkan dan memperkuat rasa kebangsaan dan mampu mengejar ketertinggalan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta memberikan makna dan memanfaatkannya bagi kehidupan yang lebih adil dan sejahtera, arif, cerdas dalam menangkap peluang, mampu memanfaatkan momentum transformasi global dan reformasi nasional dengan kemandirian, kemodernan dan kemampuan IPTEK, Politik, Ekonomi, dan budaya satu sama lain dalam pandangan yang seimbang.

Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa harus menjadi tenaga penggerak bagi pembangunan bangsa, menciptakan suatu lingkungan yang sehat dalam memperkuat hubungan dengan lintas etnis budaya, dan berupaya menghilangkan stigma negatif yang melekat pada Indonesia Tionghoa, bertindak kongkret dan berusaha memperbaiki pencitraan yang keliru terhadap Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa saat ini sebagai manifestasi munculnya wajah baru konglomerat Indonesia Tionghoa kaya; padahal perjuangan masih panjang dengan napas kita juga mesti panjang untuk berupaya menghilangkan diskriminasi dan memulihkan hak warga Tionghoa yang sama dihadapan hukum, sosial, politik, ekonomi, tidak dapat lagi menjadi sekedar tindakan sporadis, melainkan harus merupakan gerakan bersama ; untuk itu dibutuhkan usaha perjuangan yang sinergis dan konsisten dari warga Tionghoa yang peduli. Hanya dengan perjuangan yang nyata untuk menghilangkan sumber diskriminasi atau berbagai bentuk diskriminasi yang telah demikian lama berlangsung dibumi Nusantara ini bisa dihilangkan. Kemudian Perkumpulan atau Organisasi Tionghoa perlu mendorong generasi muda Tionghoa untuk bisa berdiaspora dengan masuk ke dalam berbagai Lembaga Nasional, partai politik dan segala profesi sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar