Kamis, 12 Februari 2009

Pernyataan Sikap "Tolak Politisasi Etnis Tionghoa oleh Elite Politik & Pengusaha Tionghoa"

Kebebasan dan kesetaraan adalah dua prasyarat penting dalam membangun

kehidupan politik yang demokratis. Kedua nilai inilah yang berhasil

ditenggelamkan pada titik nadir oleh rezim otoritarian Orde Baru.

Meski belum paripurna, proses demokratisasi pasca reformasi 1998

berhasil membuka sumbat ruang - kebebasan dan mentransformasikan

relasi–relasi timpang hasil rekayasa rezim menjadi lebih demokratis.

Salah satu gambarannya tampak pada kasus Tionghoa. Selama Orde Baru

etnis Tionghoa diposisikan menjadi "musuh bersama" penguasa yang secara

politik dibungkam. Pola yang sama juga kita temukan dalam literatur

sejarah nusantara di era kerajaan – kerajaan.

Itulah mengapa sejarah juga mencatat bahwa etnis Tionghoa ecara

politik dan kebudayaan sering kali terjebak dalam hubungan patronase

yang dibuat oleh rezim orde baru. Kini pasca gerakan reformasi pola

relasi ini perlahan mulai diretas. Dari situ, adalah kewajiban bagi

etnis Tionghoa Indonesia bersama sama dengan warga lainnya untuk

bersikap dan berdiri dalam penghayatan kewarganegaraan dan

demokratisasi baru yang mengedepankan kesetaraan dan keyakinan

demokratisnya selaku warga negara.

Berpijak dari kacamata ini; dengan adanya pernyataan sejumlah elemen

Tionghoa Indonesia beberapa waktu belakangan ini yang secara terbuka

menyatakan dukungan politik kepada pemerintahan yang sedang berkuasa

baik melalui iklan media massa cetak dan elektronik, maka kami

menyatakan sikap sebagai berikut:


Pertama, Belajar dari sejarah dukung mendukung suatu

kekuasaan dengan mengatasnamakan etnis adalah suatu hal yang

kontraproduktif. Cara semacam itu adalah ekspresi minority complex

syndrome warisan jaman Penjajahan dan Rezim Orde baru yang perlu

dikikis.


Kedua, Klarifikasi dan artikulasi etnis dalam suatu mobilisasi politik

yang sarat kepentingan akan menghasilkan dan membuka jurang ketegangan

sosial yang sama sekali tidak perlu bahkan bisa membahayakan karena

dapat menyulut politik berbasis identitas.


Ketiga, Mobilisasi semacam itu secara psikologis akan menempatkan

kembali Tionghoa Indonesia dalam hubungan patronase dengan kekuasaan

dan penguasa, Patronase semacam ini selain berpeluang bagi kembali

terulangnya dominasi juga sangat tidak sesuai dengan cara-cara

berpolitik reformasi.


Keempat, Adanya politisasi etnis & klaim bahwa semua masyarakat

Tionghoa hanya mendukung salah satu partai pemilu 2009 dan

pemerintah yang sedang berkuasa adalah menyesatkan bahkan cenderung

eksploitatif, karena kenyataannya masyarakat Tionghoa

Indonesia sangat majemuk dalam orientasi politik, partai, agama, dan ideologi.


Kelima, Kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa dalam budaya dan

politik tidak terlepas dari peran serta dan jasa para presiden

Republik Indonesia seperti B.J Habibie, Megawati Soekarno Putri,

Abdurrahman Wahid, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesuai masanya,

dan bukan mutlak jasa salah seorang presiden.


Keenam, Menghimbau para elite Tionghoa untuk lebih beretika dan

bijaksana dalam melakukan kegiatan politik dan sosial yang

menggunakan simbol simbol budaya Tionghoa hanya untuk

kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek / sesaat.



Hormat Kami,


Dewan Pimpinan Pusat

Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IP-PSMTI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar