Kebebasan dan kesetaraan adalah dua prasyarat penting dalam membangun
kehidupan politik yang demokratis. Kedua nilai inilah yang berhasil
ditenggelamkan pada titik nadir oleh rezim otoritarian Orde Baru.
Meski belum paripurna, proses demokratisasi pasca reformasi 1998
berhasil membuka sumbat ruang - kebebasan dan mentransformasikan
relasi–relasi timpang hasil rekayasa rezim menjadi lebih demokratis.
Salah satu gambarannya tampak pada kasus Tionghoa. Selama Orde Baru
etnis Tionghoa diposisikan menjadi "musuh bersama" penguasa yang secara
politik dibungkam. Pola yang sama juga kita temukan dalam literatur
sejarah nusantara di era kerajaan – kerajaan.
Itulah mengapa sejarah juga mencatat bahwa etnis Tionghoa ecara
politik dan kebudayaan sering kali terjebak dalam hubungan patronase
yang dibuat oleh rezim orde baru. Kini pasca gerakan reformasi pola
relasi ini perlahan mulai diretas. Dari situ, adalah kewajiban bagi
etnis Tionghoa
bersikap dan berdiri dalam penghayatan kewarganegaraan dan
demokratisasi baru yang mengedepankan kesetaraan dan keyakinan
demokratisnya selaku warga negara.
Berpijak dari kacamata ini; dengan adanya pernyataan sejumlah elemen
Tionghoa
menyatakan dukungan politik kepada pemerintahan yang sedang berkuasa
baik melalui iklan media
menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, Belajar dari sejarah dukung mendukung suatu
kekuasaan dengan mengatasnamakan etnis adalah suatu hal yang
kontraproduktif. Cara semacam itu adalah ekspresi minority complex
syndrome warisan jaman Penjajahan dan Rezim Orde baru yang perlu
dikikis.
Kedua, Klarifikasi dan artikulasi etnis dalam suatu mobilisasi politik
yang sarat kepentingan akan menghasilkan dan membuka jurang ketegangan
sosial yang sama sekali tidak perlu bahkan bisa membahayakan karena
dapat menyulut politik berbasis identitas.
Ketiga, Mobilisasi semacam itu secara psikologis akan menempatkan
kembali Tionghoa
dan penguasa, Patronase semacam ini selain berpeluang bagi kembali
terulangnya dominasi juga sangat tidak sesuai dengan cara-cara
berpolitik reformasi.
Keempat, Adanya politisasi etnis & klaim bahwa semua masyarakat
Tionghoa hanya mendukung salah satu partai pemilu 2009 dan
pemerintah yang sedang berkuasa adalah menyesatkan bahkan cenderung
eksploitatif, karena kenyataannya masyarakat Tionghoa
Kelima, Kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa dalam budaya dan
politik tidak terlepas dari peran serta dan jasa para presiden
Republik
Abdurrahman Wahid, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesuai masanya,
dan bukan mutlak jasa salah seorang presiden.
Keenam, Menghimbau para elite Tionghoa untuk lebih beretika dan
bijaksana dalam melakukan kegiatan politik dan sosial yang
menggunakan simbol simbol budaya Tionghoa hanya untuk
kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek / sesaat.
Hormat Kami,
Dewan Pimpinan Pusat
Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar