Selasa, 05 Mei 2009

Sketsa XI Kematian David: Mengapresiasi Saji dan Atensi



May 3rd, 2009

Sketsa XI Kematian David: Mengapresiasi Saji dan Atensi

Menulis Sketsa ke-11 ini saya lakukan tepat di Hari Ulang Tahun Almarhum David Hartanto Widjaja ke-22. Ia lahir di Jakarta, 2 Mei 1987, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Persidangan Coroner Inquiry, dilakukan mulai 20 Mei –Hari Kebangkitan Nasional- hingga 26 Mei 2009 mendatang. Seharusnya NKRI bangkit menggelorakan harkat dan martabat menjadi bangsa kian beradab. Bukan sebaliknya.

TULISAN Sketsa ini sejak awal saya tabalkan gratis ke media online, blog, milis. Komentar, pujian, kritik dan saran, mengalir. Saya lebih banyak berhenti membaca di bagian kritik, yang selalu saya harapkan dari pembaca, agar menulis bisa lebih baik lagi. Senang bila tulisan itu dibantai cincai.

“Enak ya jalan-jalan karena kematian orang.”

Begitu salah satu kritik yang ada di Superkoran, apakabar.ws

Kecut juga hati.

Namun dari situlah saya mendapatkan pembelajaran. Ibarat jamu pahit, kritik itu mengobati, agar jangka panjang bisa meng-kaya-kan hati.

Apresiasi, menurut Kamus Bahasa Indonesia, setidaknya ada tiga makna: kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah.

Berkait ke topik Sketsa ini, saya menyinggung dua saja. Kesadaran terhadap nilai-nilai seni budaya dan penghargaan terhadap sesuatu, yang bermuara kepada melahirkan karakter, berhati dan berbudi. Kedua kata ini jelas berkorelasi tajam mengapa David Hartanto Widjaja, mahasiswa cerdas asal Indonesia itu justeru terindikasi kuat dibunuh di kampusnya di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, 2 Maret 2009 lalu.

Ketika berada di Singapura untuk kedua kali memverifikasi kematian David, dua pekan silam, saya menyimak ada dua event seni dan budaya besar di sana; pertama 2nd Singapore International Film Festival 14 sampai 25 April 2009, dan peragaan karya adi busana Christian Lacroix, the Costumier, perancang terkenal Perancis, yang karyanya menjejali beragam wardrobe pementasan teater, film mendunia, berlangsung pada 20 Maret hingga 7 Juni 2009.

Jika dalam konteks jalan-jalan, sebagaimana kritik ditudingkan seseorang kepada saya, jujur saya akui saya memang melakukannya. Toh di balik ketegangan mengungkap kasus kematian David, sebagai pemilik raga yang masih hidup, saya masih berkeinginan memperkaya batin, dan di Singapura: wahana untuk itu kini tidak berbilang.

Saya menonton ontologi film pendek di Sinematek, Museum Nasional Singapura, pada satu kali pementasan, berjudul: Distance (10 menit), Dreaming Kester (14 menit), Hush Baby (3 menit), Leaving Me (9 menit), Madam Chan (20 menit), Shingaporu Monotagari (12 menit), Sink (11 menit) dan Slimming Lesson (13 menit). Dari visual simpel, macam short animasi (2D) Hush Baby, dengan Sutradara Tan Wei Keong, bayi menangis-nangis yang digunting-gunting kertasnya hingga ke visual cerita kelas berat film Sink, yang hitam putih.

Pada Film terakhir di Swimming Lesson, yang disutradarai Kat Goh Phek Siang, terekam kuat kekuatiran dan kenyinyiran seorang ibu yang harus melepas anak gadisnya menuntut ilmu ke negeri orang. Sang ibu kuatir segalanya.

Ibu dag-dig-dug akan anaknya tidak bisa lagi menikmati makanan kesukaannya, sehingga ketika mobil tua yang disetir sang suami menjelang tiba di Bandara dan rantangnya ketinggalan. Si Ibu meraung-raung sejadinya meminta mobil pulang kembali. Makanan kudu mara dibawa.

Film Sink, yang disutradarai Kirsten Tan, secara ekstrim tampil dengan visual hitam putih, panorama laut, statis, berubah, macam animasi static. Sebuah keran kuningan dan tempat cuci tangan perselen putih, lamat-lamat ditenggelamkan laut di pantai. Keran berkarat.

Hari-hari menua.

Pencarian cinta sejati, seakan entah di mana?

Saya yakin Kirsten Tan, sang sutradara Sink, dan crew kecil filmnya, paham betul akan makna cinta sejati. Ketika itulah mata saya berlinang membayangkan wajah Ibunda David, Tjhay Lie Khiun, yang hingga hari ini masih terus bersedih, belum bisa memasak ke dapur.

“Masih trauma melihat pisau. Anak saya tak pernah dari kecil pegang pisau, tak pernah ngupas buah sendiri pakai pisau,” tutur Tjhay.

Jika menyimak karya-karya film pendek anak-anak muda Singapura, hampir pasti kejadian aneh dan unik di NTU, menjadi tak masuk di akal dan di benak saya. Film sebagai sebuah karya budaya, menjadi muara dari sebuah bentuk peradaban.

Sejak memverifikasi kasus kematian David, saya menemukan seorang gadis asal Indonesia, pernah mendapatkan perlakuan kasar dari seorang professor, dengan berteriak-teriak memarahi dirinya di depan kamarnya pada tengah malam buta dan mencoba menerobos masuk ke kamarnya. Parahnya lagi gadis tersebut menetap di single room dan professor tersebut merupakan dosen pengawas hall tempatnya tinggal. Apakah gerangan yang hendak dilakukan sang professor dengan berusaha menerobos kamarnya?

Saya juga mendapatkan data bahwa di kampus NTU pernah ada seorang student leader yang mengintip mahasiswi mandi sebanyak tiga kali dan notabene didukung dengan rekaman CCTV. Sang pelaku dibiarkan lalu lalang belajar di kampus bergengsi itu tanpa ada hukuman. Bahkan mahasiswa yang mengetahui secara detil siapa hidung belang tersebut, dilarang oleh NTU untuk membocorkan namanya ke media.

Kasus-kasus ini semakin menguatkan dugaan saya bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan layak dipertanyakan di ranah ke-NTU-an kini.

“Tetapi semuanya ditutup-tutupi. Beberapa kasus memang terlanjur ditutupi NTU.”

Begitu keterangan gadis “malang” yang kini sudah bekerja di negeri Merlion itu.

Setelah David berpulang 2 Maret 2009 lalu, begitu diberitakan dia menusuk professor, melukai nadi sendiri lalu melompat bunuh diri, pihak kampus yang menyebar berita demikian, “mendukung” mahasiswa meng-endorse berita itu. Seorang mahasiswa Indonesia sejurusan dengan David, terang-terangan bilang ke saya bahwa diintimidasi NTU.

Seorang wanita karir yang dulu hijrah ke Singapura, karena rumah keluarga mereka dijarah di bilangan Mangga Besar, di peristiwa Mei 1998, alumni NTU, menuturkan: Ketika mengambil program master, tugas akhir yang di NTU familiar disebut Final Year Project (FYP), di depan hidungnya dijual ke industri oleh sang professor pembimbing ke industri.

Untuk program beasiswa, NTU memang mewajibkan FYP menjadi milik perguruan itu.

Di satu gedung di salah satu ruang pameran di Museum Nasional Singapura, yang berada di sebelah Taman Fort Canning itu, sebelum menonton ontologi film pendek, di sebuah dinding hitam dengan tanda tangan merah Christian Lacroix mencolok, mencuri pandang. Di atas pukul 18, pameran kampiun perancang adi busana ini gratis gratis publik. Di ruang yang gran dipamerkan karya monumentalnya; baik untuk teater maupun wardrobe film.

Seluruh ruangan hitam. Tata cahaya benar-benar diatur sempurna. Untuk poster berupa stiker dari digital printer dilampu-soroti oleh sinar yang seakan memberi rona kabut. Desain baju-baju rumit dengan manekin tingi jenjang, bagitu dipotret tanpa pencahayaan, ditangkap lensa kamera dengan tajam dan bagus. Tak sembarangan pameran tampaknya. Karya-karya Lacroix memang dominan bagi pentas teater dan film

Terpikirkan juga, apa bisa kemasan pameran seperti itu digelar di Indonesia? Di mana ada ruang pameran yang ber-ceiling- tinggi? Siapa membiayai?

Saya menyimak tak banyak pengunjung datang. Saya tak paham apakah hal begini juga penting bagi mahasiaswa dan dosen NTU untuk dikunjungi?

Yang saya lihat, apalagi di masa-masa examination di NTU di saat saya di Singapura, kekuatiran akan nilai jeblok mahasiswa tinggi. Nilai seakan harus dikejar. Nilai A menjadi segala. Seakan-akan jika tidak dapat A, Anda bukan manusia.

Di tengah langgam elo-elo, gue-gue juga tajam, diperlukan kearifan pergaualan, banyak melihat dan menatap kehidupan sosial, agar terhindar dari kondisi macam kodok dalam batok.

Begitulah keadaan lingkungan bergengsi di lahan 200 hektar yang menjadi tujuan sekolah anak-anak hebat negeri ini.


JUMAT, 1 Mei 2009. Saya menemani keluarga David ke Mabes Polri, tepatnya diterima oleh Kadiv Humas. Dalam hal ini diwakili oleh Wakadiv, Sulistyo. Selain ayah dan paman, tampak juga Chsristovita Wiloto, dari Wiloto PR, yang sejak awal kasus ini telah berupaya mensosialisasikan di facebook, bahwa kematian David layak dipertanyakan. Melalui group di Facebook, yang kini sudah mencapai 16.000 lebih, langkah pro aktif Christ itu, kini juga menggalang dana dalam tiga pekan terkahir sudah mencapai lebih dari Rp 220 juta, bagi keperluan keluarga membayar pengacara di Singapura, yang berjumlah lebih $ 60 ribu.

Pada kesempatan itu Polri menyampaikan perhatiannya untuk kasus ini, dengan mengirimkan Tim yang dipimpin Kompol Hermawan – - siang itu ikut bergabung - - dan 25 April lalu baru saja pulang dari Singapura. Pihak Interpol Mabes Polri pun kini sudah mulai memberi perhatian tinggi, dan ini layak diapresiasi.

Selain Polri, KBRI, peranan media mainstream memberitakan kasus David ini kini juga sudah mulai tajam. Semoga saja tensinya ke depan kian meninggi. Kerja teman-teman wartawan teve ke lapangan layak diacungi jempol, mereka bernyali, misalnya, ketika kami infokan alamat Profesor Chan Kap Luk, saksi kunci. Hampir semua crew televisi kita yang ke Singapura punya keunikan tersendiri mendapatkan visual kediamannya.

Cerita di balik kerja kawan-kawan teve itu menjadi sebuah behind the scene yang tak kalah unik. Sebagai pribadi saya berterima kasih kepada kawan-kawan media itu. Dan berharap pada 20-26 Mei 2009 mendatang meliput langsung persidangan koroner kasus ini. Semua itu menjadi atensi nyata menguak kebenaran kasus ini.

Di balik apresiasi dan atensi yang sudah ada kini, menyimpan dalam kegundahan saya. Yakni perihal saksi, eye witness, yang berpihak kepada dugaan David dibunuh masih lemah.

Di lain sisi tim penyidik di kepolisian Singapura sudah memiliki bukti penggalan sisi waktu di mana David ada di jembatan kaca, lalu melompat ke bawah. Adegan inilah yang terus menerus digiring NTU, bahwa David bunuh diri dan di lengannya memang berdarah-darah, bukti David melukai diri - - sebagai alibi rilis NTU.

Mengapa NTU selalu dan selalu menutupi berbagai kasus menimpa warganya? Pihak kampus enggan bicara.

Saya masih mencari saksi, ada apakah yang terjadi ruang Ptrofesor Chan Kap Luk, juga di tangga darurat?

Mengapa pula lengan kanan bagian luar david berdarah, bersayatan empat kena pisau seakan menangkis, seusai dengan hasil otopsi. Mmengapa pula di lehernya ada lebam, haemorrhaege, bahasa otopsinya?

Sayang saksi kunci lain, Zhou Zeng, poject officer, mati pula empat hari setelah David berpulang. Zhou, diduga ada di lokasi ruang Chan Kap Luk di saat David berdarah-darah. Dan, Zhou yang satu laboratorium dengan David diberitakan gantung diri.

Jasad David yang kadung cepat dikremasi, saksi kunci utama juga mati.

Dua weaknesses yang ada.

Dari semula hanya memverifikasi secara kerja jurnalistik saja, saya pun berusaha membantu menemukan saksi kunci, yang ibarat mencari ketiak ular, untuk secepatnya dapat ditemui. Karenanya saya ingin segera berada di Singapura. Apalagi persidangan koroner kasus ini sudah mendekat.

Di balik waktu masih ada di kala jeda, saya memang akan berjalan-jalan lagi menyimak Lacroix, dan kegiatan kebudayaan lain di Singapura. Panggung Lacroix, salah satunya, memberikan saya pelajaran.

“… Theatre has become much more than recreation, as this art cannot bear mediocrity nor lack of passion”

Pangantar akhir Lacroix di buku pamerannya.

Sebaliknya, bila lenyapnya nyawa David, lantas cuma menjadi sebuah teater kehidupan yang faktanya digiring kuat bunuh diri, maka kenyataan ini yang kudu dilawan kini.

Siapa takut!***


Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar