Kamis, 28 Mei 2009

Pernyataan Sikap "Tolak Politisasi Etnis Tionghoa oleh Organisasi Kemasyarakatan Tionghoa Indonesia"

 

Kebebasan dan kesetaraan adalah dua prasyarat penting dalam membangun kehidupan politik yang demokratis. Kedua nilai inilah yang berhasil ditenggelamkan pada titik nadir oleh rezim otoritarian Orde Baru. Meski belum paripurna, proses demokratisasi pasca reformasi 1998 berhasil membuka sumbat ruang kebebasan dan mentransformasikan relasi–relasi timpang hasil rekayasa rezim menjadi lebih demokratis. Salah satu gambarannya tampak pada kasus Tionghoa. Selama Orde Baru etnis Tionghoa diposisikan menjadi "musuh bersama" penguasa yang secara politik dibungkam. Pola yang sama juga kita temukan dalam literature sejarah Nusantara di era kerajaan.

Itulah mengapa sejarah juga mencatat bahwa etnis Tionghoa secara politik dan kebudayaan sering kali terjebak dalam hubungan patronase yang dibuat oleh rezim orde baru. Kini pasca gerakan reformasi pola relasi ini perlahan mulai diretas. Dari situ, adalah kewajiban bagi masyarakat Tionghoa Indonesia bersama-sama dengan warga lainnya untuk bersikap dan berdiri dalam penghayatan kewarganegaraan dan

demokratisasi baru yang mengedepankan kesetaraan dan keyakinan demokratisnya selaku warga negara.

Berpijak dari kacamata ini dengan adanya pernyataan sejumlah elemen organisasi kemasyarakatan Tionghoa Indonesia beberapa waktu belakangan ini yang secara terbuka menyatakan dukungan politik kepada calon-calon presiden tertentu baik melalui media massa cetak dan elektronik, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, Belajar dari sejarah dukung mendukung suatu kekuasaan dengan mengatas-namakan etnis adalah suatu hal yang kontraproduktif. Cara semacam itu adalah ekspresi minority complex syndrome warisan jaman penjajahan dan rezim Orde Baru yang perlu dikikis.

Kedua, Klarifikasi dan artikulasi etnis dalam suatu mobilisasi politik yang sarat kepentingan akan menghasilkan dan membuka jurang ketegangan sosial yang sama sekali tidak perlu bahkan bisa membahayakan karena dapat menyulut politik berbasis identitas.

Ketiga, Mobilisasi semacam itu secara psikologis akan menempatkan kembali masyarakat Tionghoa Indonesia dalam hubungan patronase dengan kekuasaan dan penguasa, Patronase semacam ini selain berpeluang bagi kembali terulangnya dominasi juga sangat tidak sesuai dengan cara-cara berpolitik reformasi.

Keempat, Dukung mendukung dalam kebebasan berpolitik adalah hal yang wajar dan sah, namun perlu diingat agar dukungan tersebut jangan sampai membawa masyarakat Tionghoa Indonesia dalam politisasi etnis dan klaim bahwa seluruh masyarakat Tionghoa Indonesia hanya mendukung salah satu calon presiden.

Hal tersebut menyesatkan bahkan cenderung eksploitatif, karena kenyataannya masyarakat Tionghoa Indonesia sangat majemuk dalam orientasi politik, partai, agama, dan ideologi.

Kelima, Kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa dalam budaya dan politik saat ini tidak terlepas dari peran serta dan jasa para presiden Republik Indonesia seperti B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesuai masanya, dan bukan mutlak jasa salah seorang presiden semata.

Keenam, Menghimbau para tokoh dan pimpinan organisasi kemasyarakan Tionghoa Indonesia untuk lebih bijaksana dalam melakukan kegiatan politik dan sosial yang menggunakan simbol-simbol budaya Tionghoa yang hanya untuk kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek atau sesaat.

Jakarta, 29 Mei 2009

Hormat Kami,

Forum Masyarakat Indonesia Peduli Pilpres

(Ikatan Pemuda PSMTI, GEMAKU,JTM, PITI, HIKMAH BUDHI, Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu, )

1 komentar:

  1. http://nusantarastudies.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1173:fmip3-tolak-politisasi-etnis-tionghoa&catid=103:sosial-budaya&Itemid=292

    BalasHapus