Sabtu, 27 Desember 2008

TAK HANYA MEMAKNAI,WHAT NEXT?


TAK HANYA MEMAKNAI, WHAT NEXT??

Ronald Susilo
Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga
Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IP-PSMTI)

Kemerdekaan itu tidak mudah didapat. Apa yang sudah diperjuangkan oleh para
bapak bangsa kita di tahun 1908 itu tidak mudah. Bayangkan saja pada saat itu
tidak semua orang menikmati pendidikan seperti yang kita alami sekarang.
Bagaimana para bapak bangsa mengajak sesamanya pada saat itu untuk bersama-sama
memikirkan dan kemudian mewujudkan kesadaran berbangsa dan bernegara dapat
terwujud adalah suatu hal yang mustahil. Itu pemikiran kita sekarang. Tetapi,
bagi mereka bukan masalah. Tindakan nyata dan semangat pantang menyerah akan
mengatasi semua itu. Kira-kira itulah yang akan dikatakan mereka untuk
menghilangkan kerutan di dahi kita akan ketidakmungkinan tersebut. Nah, untuk
kita sekarang, berhentilah berbicara mengenai makna entah itu makna Kebangkitan
Nasional, makna Sumpah Pemuda bahkan makna Reformasi. Sekali lagi berhentilah
berbicara mengenai makna. Makna sekarang ini hanya akan menjadi suatu hal yang
bersifat seremonial. Akan sama artinya dengan makna Ulang Tahun seseorang
bahkan mungkin makna sebuah hari Valentin, selesai makan-makan pulang.
Merayakan si merayakan acaranya tetapi selanjutnya apa? What next? Kita,
sebagai generasi pendiri bangsa dan negara, maupun generasi pemelihara dan
penerus bangsa, tentunya tidak boleh lagi hanya berhenti sebatas memaknai
peristiwa-peristiwa besar tersebut. Berbicara mengenai makna hanya akan menjadi
sebuah konsep yang tidak membumi lagi. Sekarang saatnya kita tunjukkan tindakan
nyata untuk mengisi hari-hari untuk membangun suatu semangat pantang menyerah
guna tercapainya negara Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat.
Peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928 yang dikumandangkan oleh para pemuda
haruslah menjadi cambuk buat kita untuk sadar bahwa hanya persatuan dan
kesatuanlah yang akan membuat tindakan nyata kita terwujud. Berhentilah
berbicara mengenai suku, ras, bahkan agama. Berhentilah berbicara mengenai
kepentingan golongan masing-masing. Sudah bukan saatnya lagi. Kalau ada yang
bertanya, ?Anda orang mana?? jawaban tegas harus kita berikan, ?Saya orang
Indonesia!? bukan malah menjawab, ?Saya orang Jawa?, atau ?Saya orang
Tionghoa?. Harus selalu ingat bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan negara
kita yang begitu indah. Indahnya karena Ika-nya bukan Bhineka-nya sebab karena
kalau berbeda-beda dan terpisah-pisah tidak ada istimewanya sama sekali bahkan
itu sesuatu yang lumrah, tetapi justru karena kita berbeda-beda dan dapat
menjadi satu itulah yang istimewa. Sehingga cita-cita negara kita, negara
Indonesia yang mempunyai satu kesatuan dari Sabang sampai Marauke tetap
merupakan cita-cita kita bersama.
Anda tentu masih ingat kata-kata salah satu founding father Republik Indonesia,
Bung Karno, ?One for All, All for One, All for All?. Kata-kata ini hendaklah
dijadikan dasar pemikiran kita dewasa ini. Dasar bagi berbangsa dan bernegara
yang dibuat oleh para pendahulu kita bukanlah dasar yang lemah. Dasar yang
mereka buat adalah dasar yang sangat kuat dan kokoh. Sesungguhnya kita tinggal
membangun saja. Kita tinggal meng-?upaya?-kan bagunan di atas dasar tersebut.
Kira-kira itulah kata Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama yang selalu
mengkritisi persoalan sosial dan politik demi kecintaannya yang besar akan
negara Indonesia.
Kemerdekaan itu tidak murah. Begitu banyak hal yang telah dilalui bangsa kita
ini untuk membayar nilai kemerdekaan yang telah kita dapatkan. Tetapi
pertanyaan yang timbul seketika, apakah kita sudah benar-benar merdeka di dalam
negara kita sendiri? Masih begitu banyak para koruptor yang ?menjajah? negara
kita. Mereka yang menimbulkan utang, negara alias rakyat yang harus membayar.
Itu namanya kolonialisme. Kita belum merdeka. Dalam bidang politik, yang ingin
berkuasa seakan-akan berhak membawa seluruh anggota keluarga untuk memimpin
satu kerajaan Indonesia. Bahkan kalau perlu tukang kebun dan tukang-tukang yang
lain pun akan dimasukkan untuk memimpin kerajaannya. Ini bukan zaman kerajaan
lagi, Bung! Berhentilah untuk mementingkan kepentingan pribadi. Ingatlah hal
ini sudah pernah terjadi dan hasilnya adalah kehancuran kita di tahun 1998.
Mengenang 10 tahun Peristiwa Reformasi masih banyak hal yang perlu dikembalikan
lagi ke jalur yang sesuai. Sebab reformasi atau perubahan itu bisa banyak hal.
Ke arah yang lebih baik atau buruk. Sebagai contoh sebelum reformasi kita belum
begitu berani berbicara bahkan mendengar kata Pengadilan Negeri saja kita sudah
merinding. Sekarang, semua orang sudah lebih berani. Berani untuk apa? Apa saja
yang penting tidak merugikan kelompok sendiri. Sehingga kita tiba-tiba
dikejutkan dengan kasus penusukan dan pembunuhan di sebuah ruangan lantai tiga
Gedung Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat. Emangnya itu tempat underground bagi
para bandit seperti yang terlihat di film-film? Menakjubkan!! Itulah kira-kira
hasil reformasi yang sudah berjalan 10 tahun di negara ini. Hukum harus kembali
ditegakkan dalam rangka pendewasaan masyarakat sehingga benar-benar siap hidup
dalam alam demokrasi dengan nilai-nilai kemanusiaannya yang universal.
Memaknai ketiga peristiwa besar ini yakni, 100 tahunnya Peristiwa Kebangkitan
Nasional, 10 windunya Peristiwa Sumpah Pemuda, dan 10 tahunnya Peristiwa
Reformasi Indonesia, tidak dengan sendirinya merubah nasib atau keadaan suatu
bangsa, kecuali perubahan itu atau keadaan yang lebih baik itu diupayakan lewat
tindakan konkret. Dan, ?upaya? seperti itu sesungguhnya dapat dilakukan kapan
saja. Suatu bangsa dapat mengubah nasibnya, keadaanya kapan saja??Ya, kapan
saja. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar