Rabu, 29 April 2009

Sketsa X David: “Greater Minds” di Kampus Kematian

April 28th, 2009

Sketsa X David: “Greater Minds” di Kampus Kematian

Pengadilan First Mention Coroner sudah berjalan. Berita kematian David beradu Pemilu, berlaga beragam infotainment teve. Perlu saksi signifikan di Coroner Inquiry nanti. Agar, ini kasus terhindar dari keputusan: David bunuh diri!

PETANG belum redup. Matahari masih menyengat. Kendati jam menunjukkan menjelang pukul 17, waktu Singapura, Jumat 17 April di Mandai Crematorium, tempat di mana jasad Almarhum David Hartanto Widjaja pada 3 Maret 2009 lalu dikremasi. Dua burung jalak cuek lewat mendekat kaki saya yang mencangkung di tepi jalan aspal lebar segar. Angin meniup dahan kayu hutan di sebelah menyebelah. Suasana mirip kawasan wisata Puncak, Jawa Barat.

Sebuah ambulan minibus datang. Di kedua samping badan mobil berkaca transparan. Di dalamnya sesosok mayat di dalam peti, berpenerang neon biru, bak akuarium. Lagu Mandarin mengalun riang dari CD player bervolume kencang. Hanya ada supir dan seorang pendamping. Tidak terlihat satu pun pengantar. Suasana lalu datar.

Di bangunan sebelah kiri, seorang bapak setengah baya baru saja memarkir mobil di lahan yang lapang. Setangkai bunga ia bawa menuju bangunan macam kondominium. Di situ berderet rak penyimpanan abu; berbaris-baris berkotak-kotak. Di masing-masing pintu rak menempel bunga-bunga segar. Pria tadi tertunduk takzim, bunganya menemani. Tidak lama. Mobilnya lalu melesat lagi persis di depan saya, suasana sepi kembali. Suara lalu sekaan beralih ke gemuruh lalu-lintas di jalan tol di kawasan bawah area itu.

Deretan ruang pembakaran jenazah di bagian kanan di lahan yang lebih 10 hektar itu, bercerobong-cerobong. Di salah satu lubang pembuangan membubung asap hitam. Api baru saja bekerja tampaknya. Suasana lengang Bulu kuduk saya tegak. Panorama menghijau menghampar memagut asri menenangkan hati.

Saya membayangkan, dalam keadaan demikianlah kendaraan yang membawa jasad David Hartanto Widjaja, pada 3 Maret lalu. Kremasi dilakukan di Mandai. Mobil jenazahnya juga datang dengan nyanyian yang riang. Logika memberikan kesenangan di dalam doa menjadi beralasan. Keceriaan mengalirkan aura positif berdatangan. Maka sesuai hitungan Feng Shui tepat pukul 17.15 pada 3 Maret 2009 lalu itu jasad David disembahyangkan secara Budha

Hitungan waktu pukul 17.40, jenazahnya masuk tungku pembakaran. Di jam yang sama di hari berbeda saya masih terpana di Mandai. Satu dua jalak terbang mengusik memori. Benak saya nanar menyesal mengapa jenazah David sebegitu cepat dikremasi, padahal hasil otopsi belum keluar dan kematiannya bermasalah. Sebuah penyesalan dalam juga menyesakkan dada keluarga almarhum.

“Habis kala itu kami berduka, kalut. Menurut kepercayaan Budha, anak yang belum menikah makin cepat dikremasi, makin baik, ditambah semua hal yang disampaikan NTU awalnya kami rasakan benar, ” ujar Hartono Widjaja, ayah David.

Pihak Kedutaan Besar Indonesia Singapura, padahal juga telah mem-book pesawat Garuda untuk membawa jasad David pulang. “Kami meminta Garuda stand by enam jam,” ujar Fahmi, Sekretaris III Bagian Konsular.

“Keluarga telah memilih melakukan kremasi.”

Topik kremasi menjadi begitu krusial. Masalahnya, pada 2 Maret 2009 lalu, mahasiswa di jurusan Elebctrical and Eletronic Engineering (EEE) di Nanyang Technological Universitry (NTU) itu sesuai rilis yang dikeluarkan kampus bergengsi berlahan 200 hektar itu, disosialisasikan bahwa David menusuk Professor Chan Kap Luk, pembimbing tugas akhirnya, lalu melukai nadi lengannya sendiri, kemudian melompat bunuh diri.

Pihak kepolisian Singapura sendiri masih dalam penyidikan. Mereka belum membenarkan rilis NTU. Kemudian rilis berubah dan bertambah dilakukan NTU, bahkan pada 3 April 2009 mereka menambahkan rilis baru yang mengatakan nilai David turun grade-nya dan beasiswanya dicabut menjadi alasan sosok cerdas, jago matematika, menguasai program dasar asembler, C, C++ lalu juga mengopprek aplikasi Open Computer Vission di risetnya itu: bunuh diri.

Kecurigaan mendalam, telah mengantarkan saya dua kali ke Singapura untuk memverifikasi kasus ini. Pertama tujuh hari di sana, kedua delapan hari pekan lalu, memverifikasi bebrbagai bahan tertulis, mencocokkan berbagai hal, lalu empat kali ke lokasi tempat David dinyatakan jatuh, lantas dugaan saya kian menguat bahwa David dibunuh.

Apalagi hasil otopsi yang dikeluarkan Health Science Authority (HAS) yang dilakukan oleh DR. Marian Wang yang di-endorse oleh Profesor Gilbert Lau itu, di antaranya menyebutkan bahwa: ada 36 kelompok luka; 14 kelompok di antaranya akibat benda tajam. Bagian luka benda tajam itu, adalah lengan kanan bagian luar seperti tusukan dalam menangkis pisau, dua sayatan di bagian lengan luar, dua bagian lengan atas luar. Bahkan bagian leher yang di tulisan Sketsa sebelumnya saya tuliskan ada tiga lapis plester, di hasil otopsi diebutkan luka memar dalam.

Maka di Mandai Crematorium petang itu saya tafakur lalu menatap langit, lamat-lamat ada suara tekukur.

David mengapa dikau dibunuh?

Baru ada jawaban suara alam.

Angin petang bertiup kencang..

Sebuah taksi datang dari arah gerbang masuk yang lapang, menguak suasana Mandai nan sepi. Sosok Yasmin, alumni NTU, bekerja di Singapura, banyak sekali membantu verifikasi independen, datang menghampiri saya. Kami lalu meninggalkan lokasi Mandai Crematorium dalam diskusi tiada henti.

RABU 22 April, pukul 11, di lobby Furama City Hotel, di kawasan China Town, Singapura. Sudah ada Hartono Widjaja, Thyai Lie Khiun, Kusuma Widjaja, Wiliam Hartanto Widjaja, ayah, ibu, paman, dan kakak alamarhum David. Juga ada Christovita Wiloto dan isteri yang membantu secara probono kehumasan kegiatan non littigasi. Tak lama kemudian Shashi Nathan, lawyer dari Harry Ellias Partnership tampil. Kordinasi di tempat itu dilakukan, mengingat pukul 11.30 berlangsung First Mantion Coroner Court kasus kematian David.

Dalam sebulan ini saya mengutak-atik, bagaimana menyederhanakan maksud pengadilan koroner. Baru malam menjelang proses pengadilan awal itulah saya menemukan jawaban: bahwa pengadilan koroner, sesungguhnya sebuah proses pengadilan membatasi wewenang negara.

Wewenang negara mana yang dibatasi?

Wewenang melakukan dan membuat Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3). Di Indonesia SP3 bisa dilakukan kepolisian - - jika tak ditemukan banyak bukti misalnya - - dan atau juga dilakukan pihak kejaksaan. Di Singapura, jurus langkah hukum SP3 itu tidak bisa dibuat sewenang-wenang oleh negara. Dia harus melalui proses pengadilan yang disebut Coroner Court. Nah, hari itu First Mention, digelar pertama, di mana hakim memanggil penyidik, lawyer, keluarga (next of kin), sidang terbuka untuk publik.

Di bangunan pengadilan koroner, tidak ada tulisan Coronor Court. Di luar hanya tampak tulisan Subordinate Court. Ternyata di salah satu ruang di bangunan itulah digelar apa yang disebut persidangan koroner. First Mention David digelar di ruang 22 di lantai 3. Saya menghitung, kami menaiki tiga terap anak tangga pencarian keadilan yang mencapai 49.

Ruang 22 itu empat persegi, satu setengah lapangan basket. Suluruh dinding sirap-sirap kayu masih berbilah-bilah vertikal. Di dinding ada satu logo negara Singapura. Di bagian bawah logo, paling depan, meja panjang hakim. Terap agak bawah asisten administrasi persidangan. Sidang dipimpin hakim Pieter Yeo.

Setengah melingkar menghadap hakim, di sebelah kanan, tampak penyidik Soh Ceh Eng. Di luar sebelum masuk, saya sempat menyalaminya, mengenalkan diri sebagai sosok yang pernah meneleponnya, juga meminta konfirmasi soal kekagetannya ketika ditanya Hartanto Wdjaja, soal leher David yang diplester.

Shasi Nathan, lawyer keluarga David menegur saya.

“Don’t do that, Iwan.”

Barulah tahu saya masing-masing pihak jika sudah di pengadilan itu tidak beradab bertegur sapa.

Persidangan terbuka. Hari itu ada sekitar 8 orang wartawan dan blogger lokal. Seorang wartawan RCTI, kebetulan berkesempatan meliput dari Jakarta. Kami duduk di barisan belakang, khusus pengunjung. Cukup lama menunggu ketika Shashi dipanggil hakim. Mereka rapat setengah kamar hampir sejam. Kemudian barulah sidang dimulai. Hakim Pieter Yeo memimpin persidangan. Garis lurus berhadapan hakim tampak pula Shala Iqbal, penuntut umum.

Singkat saja acaranya. Pieter mengatakan bahwa kepastian Coroner Inquiry pada 20 -26 Mei 2009 mendatang, berlangsung marathon lima hari. Mereka juga menyebut, berdasarkan masukan penyidik setidaknya ada 16 saksi, termasuk Profesor Chan Kap Luk. Shashi Nathan, lawyer, di luar persidangan menyebut salah satu lagi saksi sosok isteri digital David di dalam permainan Game Destiny. Sosok gadis Singapura 17 tahun, yang tak pernah jumpa fisik dengan David itu, konon percaya David bunuh diri, hanya karena cuma membaca berita di koran Singapura sehari setelah kematiannya. Daftar 14 saksi lainnya, tidak diberitahu.

Sejak keluar bangunan Subordinate Court itu, Shasi Nathan sangat peduli soal saksi versi keluarga David. “Kita harus mencarinya, agar mendukung fakta-fakta yang akan kita ajukan, ” ujarnya. Maka terbayanglah oleh saya, betapa beratnya melawan proses Coroner Inquiry Mei mendatang itu, di tengah berita, alibi dan saksi yang kompak seakan telah tersaji baik.

Maka kesempatan keluarga bertemu penyidik senior, Avediar DSP, di kantor polisi Jurong West, keesokan harinya, Kamis 23 April 2009 menjadi penting. Sayangnya pada kesempatan itu hanya ayah, ibu, dan kakak David saja yang boleh masuk, plus lawyer dan Yayan GH Mulyana, Sekretaris Pertama Kedubes RI mendampingi. Pamannya, Kusuma Widjaja, harus berada di pinggir jalan yang panas. Ada pula 3 wartawan lokal, yang juga bertanya-tanya mengapa masuk ke lobby ruang tunggu saja pun pengunjung tak boleh.

Selesai pertemuan, saya bertanya kepada Hartono Widjaja, apakah soal kloning hardisk di laptop David dapat diminta segera?

“Polisi bilang baru akan dikasih seminggu sebelum persidangan.”

Baru janji.

“Kami juga menanyakan soal keganjilan yang ada atas kematian anak kami,” ujar Hartono.

Polisi meyakinkan keluarga almarhum David.

“Kami salah satu polisi terbaik di dunia, pasti bekerja dengan professional.”

Begitu kalimat akhir polisi kepada keluarga David.

Untung saja saya seakan terseterap hampir dua jam di tepi jalanan Singapura di siang yang panas. Bila di dalam saya akan bertanya lantang, bagaimana profesional, Bapak polisi jika dalam mengambil barang bukti laptop David, tidak memberikan tanda terima kepada keluarga. Lebih jauh lagi, ketentuan internasional, pengambilan barang digital, harus pula mencantumkan hashing data digital. Laptop David adalah IBM T 60 dengan hard disk 250 Giga - - cukup hihh-end untuk ukuran orang berkutat di IT.

Bagaimana pula soal tempat kejadian perkara, yang cuma dalam hitungan jam, sudah dibersihkan NTU?

Karenanya melalui perkenalan saya tak sengaja dengan Ruby Z. Alamsyah, satu-satunya orang Indonesia yang memilki lisensi digital forensik internasional, mendesak kepolisian Singapura menyerahkan kloning data di laptop David. “Itu merupakan hak keluarga memintanya,” ujar Ruby.

Dari hashing data bisa dilakukan digital forensik independen. Dan Ruby sudah menyanggupi melakukan, bahkan pergi ke Singapura dengan pro bono. Ia pun telah mengontak jaringan di AS jika dipersulit kelak. Sehingga bila urusan digital forensik ini tidak beres bisa digongkan ke tingkat dunia. Digital forensik penting bagi bahan persidangan kelak, selain saksi signifikan yang harus terus dicari.

JUMAT, 24 April 2009, hingga pukul 13 lebih saya masih berada di kampus NTU. Bulak-balik berpenampilan mahasiswa ke sana, memberi rasa berkuliah yang dalam. Pesawat saya kembali pulang ke Jakarta pukul 17.35 hari itu. Saya masih perlu menemui sosok sahabat seangkatan David, yang mulai percaya dan memberikan info signifikan. Dari 600 mahasiswa Indonesia di NTU, sejak kasus ini, memang banyak yang bungkam. Salah seorang mengakui adanya intimidasi kampus; agar mengamini rilis kematian David versi NTU.

Saksi menjadi kunci utama.

Lembaga formal seperti Kedubes kita, terbentur menjaga hubungan kedua negara. Belakangan saya ketahui sudah ada agen polisi AKBP Irwandi, yang diutus kepolisian RI ke Singapura, untuk mempelajari kasus ini. Tentu sebuah kemajuan. Namun pengalaman di lapangan memberikan fakta nyata, jika lembaga formal yang bergerak, banyak sekali birokrasi membatasi, terobosan mencari langung saksi di jalur informal lebih berbuah.

Waktu kian mepet. Jam di tangan saya sudah mendekati pukul 13.30. sama mepetnya persidangan yang menyisakan hari kerja efektif 20 hari lagi. Saya melamun di halte bus di bawah kantin A di NTU. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi, berwajah tegang hari itu, jarang mereka tersenyum. Bebeberapa gadis berwajah oriental manis, cantik, tawar datar. Masa-masa examination.

Sebuah bus bertingkat bernomor 179 menuju stasiun MRT Boonlay datang. Antrian menaikinya ramai. Saya duduk di tengah bawah. Baru saja pantat terhenyak mata tertumbuk. Saya melihat poster di bagian dinding pembatas tangga ke atas.

Sebuah poster berukuran sedang berwarna oranye dengan ilustrasi foto seorang pria klimis berdiri berkemeja berpantolan, seakan mengiklankan pakaian. Tampak tagline di poster itu:

Greater Mind’s,

For our Nation’s defence embark on career in defence science and technology. Join our team greater minds for place for greater mind. www.dsta.gov.sg.

Ada gambar kapal perang, tank, panser dan pesawat tempur di kaki pria yang jadi model itu. DSTA adalah Defence Technology Security Agent, di mana Su Guaning, Presiden NTU adalah Chaiman-nya, dan Profesor Chan Kap Luk yang diberitakan media Singapura ditusuk David, menjadi senior member. DSTA berada langung di bawah Menteri Pertahanan Singapura.

Tiba di stasiun MRT Boonlay, tempat saya mengejar MRT, tampak sebuah bus bertingkat seluruh badannya dicat beriklankan DSTA: Greater Minds!

Saya tak paham, tontonan apa yang menggiring mata. Yang pasti di saat saya kedua kali kembali ke Singapura, di imigrasi, saya telah diinterogasi, untuk apa datang ke Singapura?

Saya kembali ke Singapura, untuk urusan hati nurani dan sebuah kebenaran yang hakiki.

Bukankah yang greater itu sesungguhnya, bermuara kepada mutu peradaban? Secanggih apa pun sebuah negeri berteknologi menggapai langit ketujuh kemampuan mesin perangnya, bila satu nyawa manusia mati di lingkungannya, terindikasi dirusak pula nama baiknya, menjadi apa namanya?.

Saya lalu senyum-senyum saja, dengan greater minds di kampus kematian David. Juga lebih tersenyum lagi membayangkan “greater minds” negeriku berpemilu. Sikap sportif di khasanah kehidupan lintas lini, lintas negara, kini entah mara ke mana? ***

Iwan Piliang, Literary Ciizen Reporter, blog-presstalk.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar